Oke Mari Saya Ceritakan Mengapa Saya Tidak Menyukai Matematika...

Sepanjang jalan pulang ke rumah, seperti biasa saya mendengar podcast-podcast yang saya sukai atau yang saya ingin dengar. Nah tadi saya mendengarkan podcast Deddy Corbuzier dan Danilla Riyadi, seorang penyanyi yang belakangan ini banyak dibicarakan di jagat maya. Perbincangan mereka sangat menarik. Bahkan menurut saya amat sangat menarik. Mereka membahas banyak hal; dunia selebritis indonesia belakangan, pandemi, standar kecantikan, sex harassment story, dan pendidikan. Saya terfokus ketika mereka membahas tentang pendidikan. Pendidikan di Indonesia especially. Pendapat dan pemikiran mereka berdua terutama DC benar-benatr membuat saya kayak "ohhh iya benar ini". Jadi DC mengatakan lebih kurang seperti ini

Di sekolah menengah ada beberapa pelajaran dan setiap pelajaran dipegang oleh masing-masing satu orang guru dan jelas satu guru itu menguasai pelajaran yang ia pegang. Sementara di sisi murid, satu orang murid dituntut untuk jago di semua pelajaran itu. It's crazy! katakanlah ada 8 mata pelajaran dan siswa harus menjadi jago dalam kedelapan mata pelajaran itu. Bisa gak? Kalau cuma mengejar nilai dan lulus, ya bisa tapi untuk menjadi faham dan memakai ilmunya? belum tentu bisa. Hanya akan menjadi beban dan syarat doang.

Kemudian DC juga mengatakan mengapa ketika anak-anak lemah di salah satu pelajaran, misal matematika guru atau orang tuanya akan menggenjot terus anak-anak untuk belajar matematika? Kenapa tidak fokus saja ke mata pelajaran yang ia sukai?. JIka ada anak lemah di matematika orang tua akan menambah jam belajar matematika si anak dengan les private dan sebagainya. What The hell. Bukankah ini menyiksa? dan serius saya merasakan hal ini dulu waktu di sekolah dasar. Hasilnya saya tidak menyukai matematika hingga detik ini. Saya akan langsung ngantu begitu melihat hitungan yang njilemet hahaha.
Oke mari saya ceritakan mengapa saya tidak menyukai matematika...

Dulu ketika saya masih duduk dibangku Sekolah dasar, saya termasuk anak yang ceria, berprestasi di kelas maupun di luar kelas. Saya meyukai semua pelajaran dan kegiatan. Tak heran jika guru-guru sering memilih saya untuk ikut lomba-lomba. Karena mereka bilang saya mudah diarahkan dan sudah biasa. Tapi itu cuma sampai kelas 5 karena kelas 6 kami sudah tidak boleh ikut kegiatan apapun, sudah waktunya bersiap-siap untuk ikut Ujian Nasional kata guruku. 

Sejauh itu belum terjadi apa-apa. Saya menerima tidak boleh ikut pramuka dll. Saya fokus belajar. Namun saya dan mungkin juga teman-teman saya yang lain mulai terganggu ketika semua pelajaran kecuali penjaskes dan agama diganti menjadi MATEMATIKA. Semua! Setiap hari kami harus belajar matematika. Jam pagi sampai siang semua matematika. Gak ada lagi main-main bole atau lari-larian di lapangan. Kecuali gurunya tidak masuk. Sejak saat itu saya dan mungkin juga teman-teman saya yang lain menjadi bosan, benci bahkan takut dengan matematika. Mungkinkah kami trauma? Percaya gak percaya dalam mimpipun saat itu beberapa kali saya mimpi matematika. Banyak dari teman-teman kelasku akhirnya mengaku bahwa mereka bosan dan benci matematika. Kami berharap matematika dan pelajaran hitung-hitungan di SMP tidak ada lagi. hahaha.


Bukankah itu sebuah kekeliruan? Memaksa anak-anak menyukai sesutau meski itu baik tapi dengan cara yang ekstrim. Jelas akan membuat anak semakin tidak menyukainya. Anak-anak butuh pengalaman belajar yang berbeda, yang membuat hal sulit menjadi menyenangkan dan ramah. Bukan dengan mencekoki anak dengan hal-hal yang mereka tidak suka. Masalahnya adalah, kasian ha-hal yang mereka suka dan berpotensi besar bagi hidupnya ke depan malah hilang karena dianggap tidak penting. Saya amat sangat suka menulis sejak kecil. Tapi saya diwajibkan jago matematika hingga gak ada waktu belajar menulis atau membaca. Untuk saya masih punya diary pada zaman itu. 

Pada akhirnya, apapun yang terjadi pada kita dulu harus kita jadikan pengalaman dan pelajaran penting dalam membangun generasi ke depan. Kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada masa itu kita tinggalkan saja, kebaikan-kebaikan yang ada saat itu mari kita berikan pada anak-anak kita saat ini, kita kembangkan agar menjadi semakin baik. Kita yang tahu bagaimana rasanya menerima hal baik saat itu menjadi refrensi ketika kita menerapkan kembali pada anak-anak kita di masa sekarang.

Sungguh ilmu dan kebaikan itu akan terus menerus berkembang dan berkembang menjadi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat bagi yang memulai dan menyebarkannya.. Jangan bosan berbuat baik.

Selain berpesan rajin belajar, saya juga berpesan agar mereka jangan lupa bermain.


Comments

Post a Comment