Ampenan Bukan Warisan Belanda: Kisah yang Lama Terpendam dari Pelabuhan Tua dan Seorang Penjaga Sejarah

Pernahkah kamu membayangkan bahwa Pelabuhan Ampenan yang kini lebih sering sunyi dan berdebu itu dulu pernah menjadi salah satu pelabuhan teramai di Asia Tenggara? Tempat di mana kapal-kapal asing berderet, layar berkibar dari berbagai bangsa, dan rempah-rempah, beras, hingga mutiara berpindah tangan di dermaga yang kini nyaris dilupakan?

“Saya geli kalau ada yang bilang Ampenan itu buatan Belanda,” ucap Pak Bambang—atau lebih akrab dikenal sebagai Wiracita Jatiswara —dalam sebuah perbincangan hangat di kanal Imajie tv

Nama itu bukan nama sembarangan. “Wira Carita” artinya penutur kisah kepahlawanan. Nama itu diberikan oleh mendiang Miq Egoh, mantan Bupati Lombok Barat, karena kagum pada kedalaman pengetahuan Pak Bambang tentang sejarah Lombok. Jatiswara sendiri diambil dari nama anak Miq Egoh, sebagai bentuk penghargaan.
---

Ketika Sejarah Disingkap Lewat Rasa Penasaran

Awalnya, Pak Bambang hanyalah seorang pemuda penuh rasa ingin tahu. Tapi segalanya berubah ketika ia bertemu Prof. Grover Kraan, antropolog nyentrik dari Washington State University. Pria tua dengan gaya ala Indiana Jones itu memancing tanya besar dalam dirinya:
“Kenapa daerah seperti Jawa, Sumatera, dan Bali punya ribuan catatan sejarah, tapi Lombok seolah tak punya cerita?”
Pertanyaan itulah yang membakar semangatnya untuk mulai menggali masa lalu. Ia menyusuri arsip-arsip tua, berteman dengan profesor dari dalam dan luar negeri, dan bahkan melanjutkan studi ke Amerika demi satu hal: mencari jejak sejarah Lombok yang tersembunyi.
**

Leiden dan Kisah yang Dibawa Lari

Kenapa jejak Lombok banyak tersebar di negeri asing seperti Belanda?
Jawabannya sederhana namun menyakitkan: karena Belanda mencatat, sementara kita mengandalkan ingatan lisan. Universitas Leiden di Belanda menyimpan ribuan dokumen tentang Indonesia, termasuk Lombok. Bukan karena mereka lebih peduli, tapi karena mereka lebih teratur dan punya budaya tulis yang kuat.
“Dalam satu kompi tentara Belanda, selalu ada ahli topografi, ahli bahasa, ahli budaya, dan pendeta. Semua mencatat, semua didokumentasikan,” ujar Pak Bambang.
Sementara kita, generasi demi generasi hanya bertutur lewat kata. Akhirnya sejarah menjadi samar: katanya begini, katanya begitu. Dan di titik itu, cerita berubah bentuk, meleset dari kebenaran.

Data-data awal yang ia temukan mengejutkan. Lombok dulunya adalah pusat ekspor beras ke Singapura, bahkan mengalahkan Bali. Kapal-kapal dari Inggris dan Australia sudah datang jauh sebelum Belanda hadir. Ekonomi berkembang pesat di Ampenan sejak abad ke-18.
Namun semua itu nyaris lenyap dari narasi sejarah nasional. Karena kita tidak menuliskannya.

Satu hal menarik dari perjalanan ini adalah keyakinan Pak Bambang bahwa sejarah harus objektif, dan itu berarti tak harus ditulis oleh orang yang berasal dari tempat tersebut.
“Sejarah Lombok bisa ditulis oleh orang Kalimantan. Sejarah Jawa boleh ditulis oleh orang Sumbawa. Yang penting bukan asal-usulnya, tapi niat dan objektivitasnya,” ujarnya.
Inilah semangat “Taman Sari Nusantara” yang pernah digagas Bung Karno—sebuah taman keberagaman di mana semua anak bangsa saling merawat dan mengisi satu sama lain.
**
Dalam cerita yang lebih dalam, Pak Bambang juga menyinggung tentang konflik di dalam kerajaan. Bahwa kekuasaan tidak pernah mulus. Ada faksi, ada selir, ada putra yang cerdas tapi tak bisa naik tahta, dan ada dendam yang membekas pada rakyat. Ini bukan upaya untuk menghakimi masa lalu, tapi untuk memahami manusia di balik sejarah. Agar kita tak melihat raja sebagai sosok hitam-putih, tapi sebagai manusia yang juga terbelenggu sistem dan takdir.
**
Kenapa Kita Perlu "Berkiblat" ke Barat?
Mungkin ini bagian yang menyentil. Banyak yang sinis saat mendengar kita “mengandalkan data Belanda” untuk menulis sejarah kita sendiri. Tapi faktanya, mereka mencatat dengan lengkap—bahkan sampai jam terjadinya peristiwa. Buku “Lombok Ekspedisi” adalah salah satu contohnya. Ditulis oleh tentara Belanda, buku ini menyusun kisah perang seperti skenario film, dengan catatan dari semua sisi: sayap kanan, kiri, tengah, bahkan lokasi kali dan pergerakan pasukan secara detil.
“Kalau ada sutradara baca buku itu, dia tak perlu bikin riset lagi. Sudah jadi naskah siap syuting,” candanya.

Kisah ini bukan hanya tentang Ampenan, bukan pula hanya tentang seorang pria yang berkelana menembus arsip dan batas negara. Ini adalah cerita tentang kita semua—bangsa yang kaya, tapi terlalu lama diam. Terlalu sibuk bertutur, tapi lupa mencatat. Sudah waktunya kita mulai menulis sejarah kita sendiri. Bukan untuk melupakan masa lalu, tapi untuk merekamnya dengan jujur. Seperti kata Pak Bambang:
“Saya hanya ingin sejarah Lombok tidak hilang. Karena sejarah adalah identitas, dan tanpa identitas, kita hanyalah bayang-bayang di tengah arus zaman.”
Jika kamu lahir dan besar di Lombok, mungkin kamu tidak akan pernah menyangka bahwa tanah tempatmu berpijak pernah menjadi pusat perdagangan dunia, tempat para raja, saudagar, dan petualang dari berbagai bangsa bertemu. Tapi seperti kata pepatah: sejarah selalu ada. Tinggal siapa yang bersedia menggali dan menuliskannya.
Dan semoga setelah ini, itu adalah kamu.
----------
Obrolan kami bisa disimak disini : https://youtu.be/Ke4Cfnmo_58

Comments