Review Mandala Murders Netflix (2025) : Thriller India Bertema Ritual dan Trauma


Minggu lalu saya "terpaksa" mengklik judul ini di netflix, niatnya hanya melihat sekilas teernyata tak cukup sekilas. Terlalu menarik untuk diskip, akhirnya saya menonton hingga episode terakhir meski harus kelar dalam beberapa hari karena ada 8 episode dengan durasi rata-rata 60 menitan.  Dan inilah reviewnya.

***
Bayangkan sebuah kota kecil yang dikelilingi hutan, penuh mitos dan rahasia. Sebuah desa yang masih menyimpan luka masa lalu, trauma komunal, dan kepercayaan kuno yang tidak semua orang pahami. Lalu, bayangkan pembunuhan-pembunuhan aneh terjadi satu per satu—semuanya tampak seperti potongan teka-teki yang mengarah pada sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih gelap. Inilah pengalaman yang ditawarkan oleh serial India terbaru Netflix, Mandala Murders.

Dirilis pada 25 Juli 2025, Mandala Murders adalah sebuah crime-thriller dengan elemen mistik, psikologis, dan mitologi lokal yang kental. Setting-nya berada di kota fiksi bernama Charandaspur, yang seperti bayangan dari tempat-tempat yang kita kenal—desa yang tampak biasa, namun menyimpan lapisan-lapisan misteri dan sejarah yang belum sepenuhnya terungkap.

Cerita berpusat pada Rea Thomas, seorang perwira dari Central Investigation Bureau, yang diperankan oleh Vaani Kapoor. Bersama mantan polisi Vikram Singh (diperankan oleh Vaibhav Raj Gupta), ia menyelidiki serangkaian pembunuhan mengerikan yang tampaknya mengikuti pola ritualistik. Perlahan tapi pasti, mereka terseret dalam pusaran misteri tentang sekte rahasia bernama Aayastis dan mitos mengerikan tentang makhluk bernama Yast, yang diyakini bisa dihidupkan kembali dari bagian tubuh manusia. 

Ide permohonan keajaiban dalam Mandala Murders adalah salah satu elemen inti yang membedakan serial ini dari sekadar thriller kriminal biasa. Di balik pembunuhan-pembunuhan yang terjadi, terselip iman buta, ritual kuno, dan harapan akan sesuatu yang supranatural—sebuah keajaiban yang dipercaya bisa membebaskan manusia dari penderitaan, dengan cara yang justru sangat kejam dan kelam.

Di jantung kisah ini adalah mitos tentang makhluk ilahi bernama Yast—yang dipercaya sebagai entitas spiritual yang mampu menyucikan dunia dari keburukan, menyembuhkan luka, bahkan membalikkan trauma masa lalu. Sekte rahasia bernama Aayastis percaya bahwa Yast bisa dihidupkan kembali melalui ritual “Mandala”, yaitu pola mistik berbentuk lingkaran yang melibatkan persembahan bagian tubuh manusia.

Di sinilah ide “permohonan keajaiban” muncul:
Sekte ini tidak sekadar membunuh demi kekuasaan, tapi mereka benar-benar percaya bahwa melalui pengorbanan dan darah, mereka sedang membantu dunia.

Yang menarik, Mandala Murders tidak menggambarkan sekte ini semata-mata sebagai jahat. Banyak dari anggotanya adalah orang-orang yang hidup dalam trauma, penderitaan sosial, dan luka sejarah—mereka mencari harapan, pengampunan, dan jawaban. Bagi mereka, membangkitkan Yast bukan tentang kekuatan… tapi tentang pembebasan.

Ini adalah metafora yang kuat tentang bagaimana manusia yang mengalami penderitaan mendalam, kadang memilih jalan ekstrem demi mendapatkan “mukjizat” yang mereka yakini akan mengakhiri rasa sakit itu.

Ironisnya, permohonan keajaiban ini justru menjadi sumber kekacauan. Semakin mereka ingin menyucikan dunia, semakin banyak kekacauan yang mereka ciptakan. Ini menjadi kritik halus tentang iman buta, fanatisme, dan bagaimana keinginan untuk menyelamatkan justru bisa menghancurkan, jika tidak dibarengi akal sehat dan empati.

 Atmosfer yang Mendalam, Tapi Tak Ramah Semua Orang

Hal pertama yang mencuri perhatian saya adalah bagaimana serial ini sangat kuat secara visual. Pengambilan gambar oleh Shaz Mohammed begitu apik—menampilkan hutan, gua, dan ruang-ruang gelap yang tidak hanya menegangkan, tapi juga simbolik. Kita seakan dibawa menyusuri mimpi buruk yang penuh dengan simbol mandala, mantra-mantra kuno, dan bisikan masa lalu yang belum tuntas.

Namun, kekuatan ini juga bisa menjadi kelemahan bagi sebagian penonton. Karena ritmenya lambat dan penuh eksposisi, penonton yang mencari thriller cepat ala detektif klasik mungkin akan merasa lelah. Alurnya lebih seperti novel ketimbang film laga—ia mengajak kita merenung, bukan terburu-buru.

Karakter yang Memikul Luka

Rea bukan pahlawan tipikal. Ia cerdas, skeptis, dan membawa luka batin yang dalam. Vaani Kapoor, meski ini debutnya di ranah OTT, cukup berhasil membawakan peran ini meski di beberapa bagian emosi karakternya terasa belum sepenuhnya “pecah”. Di sisi lain, Vaibhav Raj Gupta tampil lebih membumi—ia membawa kesan tulus dan lelah pada tokoh Vikram Singh, seorang mantan polisi yang harus berhadapan dengan masa lalu kelamnya.

Salah satu kejutan menyenangkan adalah Surveen Chawla, yang memerankan Ananya Bhardwaj—karakter kompleks yang menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini. Ia seperti jembatan antara dunia nyata dan dunia spiritual dalam cerita ini.

***


Kalau boleh jujur, Mandala Murders ini seperti mencoba menjawab terlalu banyak hal dalam satu napas. Ada unsur politik lokal, konflik kasta, trauma komunal, mitos kuno, hingga relasi ibu-anak. Semuanya menarik, tapi tidak semuanya berhasil dijahit rapi.

Beberapa episode terasa seperti labirin narasi yang membuat kita tersesat. Apalagi ada beberapa subplot yang terasa “nanggung”—ingin penting, tapi tidak dikembangkan dengan kuat. Namun, saya tetap menghargai ambisinya. Sang kreator, Gopi Puthran (yang sebelumnya sukses lewat “Mardaani 2”), jelas ingin membuat cerita yang tidak sekadar seru, tapi bermakna. Dan walaupun hasilnya belum sepenuhnya utuh, usahanya tetap layak diapresiasi.

Tanpa memberi spoiler besar, saya hanya bisa bilang: akhir cerita ini bukan penutup, tapi jendela. Ritual besar di akhir episode menimbulkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Dan ada indikasi kuat bahwa kita akan disuguhi musim kedua.

Tapi menariknya, akhir ini bukan sekadar cliffhanger murahan. Ia menyisakan ruang untuk kontemplasi: tentang keyakinan, tentang kebenaran, dan tentang apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup—penjelasan, pengampunan, atau hanya rasa lega?

Dalam Mandala Murders, permohonan keajaiban bukan hanya tentang menyelamatkan diri, tapi tentang obsesi untuk mengendalikan makna penderitaan dan kematian. Ini membuat cerita terasa spiritual sekaligus menyeramkan. Ia mengaburkan batas antara harapan dan delusi, antara iman dan kegilaan.

Jadi kalau kamu menonton serial ini, jangan hanya fokus pada pembunuhannya. Perhatikan bagaimana setiap tindakan kejam di balik layar sebenarnya lahir dari doa yang salah arah.

Siapa yang cocok menonton Series ini?

Kalau kamu menyukai cerita dengan nuansa mistik, plot yang lambat tapi simbolik, dan karakter dengan trauma psikologis, maka Mandala Murders layak kamu tonton. Tapi jika kamu lebih suka cerita yang rapi, cepat, dan langsung to the point, mungkin serial ini akan terasa terlalu berat.

Mandala Murders adalah seperti ritual itu sendiri: panjang, kadang membingungkan, tapi penuh makna jika kamu mau bersabar.

***

Rating: 3.5/5

✔️ Plus:

  • Visual atmosferik yang memukau
  • Tema berat yang berani diangkat
  • Karakter-karakter kompleks

❌ Minus:

  • Alur lambat dan kadang membingungkan
  • Tidak semua subplot berkembang sempurna
***

Sudah nonton Mandala Murders, belum? Bagaimana menurut kalian? Apakah kamu percaya bahwa trauma bisa diwariskan secara kolektif? Atau bahwa sejarah bisa hidup kembali melalui ritual?

Kalau kamu punya pemikiran soal serial ini, tulis di kolom komentar ya. Siapa tahu, kita bisa menyusun mandala pemahaman kita sendiri.


Comments