Merangkum Film Dirty Vote 2 | Bagian 1 - 3O: Otot, Otak, dan Ongkos — Cara Halus Kekuasaan Mengatur Kita
Kalau kamu sudah nonton Dirty Vote 3, pasti sadar: film ini bukan sekadar ngomongin politik. Ia seperti nyodorin kaca besar dan nyuruh kita ngaca — “Lihat deh, ini loh wajah kekuasaan kita sekarang.”
Konsep utamanya sederhana tapi jleb banget: 3O — Otot, Otak, dan Ongkos. Tiga kekuatan besar yang katanya menopang negara, tapi di tangan yang salah, justru bisa bikin rakyat cuma jadi penonton.
Otot: Reformasi di Ujung Tanduk
Kita dulu sempat bangga, kan? Katanya militer sudah kembali ke barak, polisi sudah profesional, sipil berdaulat lagi. Eh, ternyata sekarang mulai balik arah.
Isu RUU TNI dan Polri yang memungkinkan mereka duduk di jabatan sipil jadi tanda tanya besar. Lambat laun, kita lihat aparat mulai banyak nongol di kursi strategis — dari BUMN, lembaga negara, sampai pemerintahan daerah. Dalihnya sih demi stabilitas. Tapi lama-lama kok jadi terasa kayak zaman dulu ya? Ketika yang berseragam bisa campur tangan di urusan rakyat sipil. Kalau begini terus, apa bedanya dengan masa sebelum reformasi? Reformasi yang dulu diperjuangkan dengan darah, bisa pudar cuma karena kita terbiasa diam.
Otak: Demokrasi Tanpa Oposisi
Nah, kalau otot itu kekuatan fisik, maka otak ini strategi politiknya. Dan di era sekarang, strategi itu kelihatan banget: semua dirangkul, biar nggak ada yang melawan. Koalisi besar yang merangkul hampir semua partai besar bikin politik terasa “ramai tapi sepi.” Ramai karena kursi kekuasaan penuh, sepi karena nggak ada yang berani mengkritik. Bayangin, ada 49 kementerian dan 57 wakil menteri, tapi suara kritis malah makin tipis. Oposisi seperti jadi hiasan, bukan lagi penyeimbang. Demokrasi akhirnya cuma formalitas — kayak upacara yang kita hadiri tiap tahun, tapi sudah nggak tahu maknanya lagi. Ketika semua setuju, itu artinya nggak ada yang benar-benar berpikir.
Ongkos: Uang, Kekuasaan, dan Rakyat yang Cuma Jadi Angka
Dan ini yang paling terasa di dompet kita semua — ongkos. Kekuasaan butuh biaya, dan biaya itu datangnya dari mana? Ya dari kita, rakyat.
Program-program populis bermunculan: makan bergizi gratis, Kopdes, Danantara, Patriot Bond, dan seterusnya. Kedengarannya keren dan pro-rakyat. Tapi kalau ditelusuri lebih dalam, semuanya punya benang merah: mengalirkan uang negara untuk menguatkan kekuasaan. Inilah yang disebut dalam film itu sebagai state capture economy — ekonomi yang dikendalikan oleh segelintir elite. Rakyat tetap disuruh percaya, padahal yang di atas sibuk bagi-bagi kue. Ketika ongkos kekuasaan dibayar dengan uang rakyat, maka yang paling rugi tetap rakyatnya.
Jadi, Kita Mau Apa?
Film Dirty Vote 3 bukan cuma bahan debat politik. Ia ajak kita mikir — apa kita mau terus jadi penonton? Atau mulai berani nanya, berani kritis, dan nggak gampang disetir narasi? Tiga “O” itu mungkin kuat, tapi sejarah sudah buktiin: kalau rakyat sadar, mereka bisa kalah oleh satu “O” yang lebih besar — Orang biasa yang berani bicara.
***
Dirty Vote 3 mungkin bakal bikin sebagian orang nggak nyaman. Tapi justru di situlah gunanya film ini — mengingatkan kita, bahwa demokrasi nggak akan hidup kalau rakyatnya berhenti peduli.

Comments
Post a Comment