Ada orang yang tampak mudah sekali bahagia. Padahal hidupnya, kalau kita lihat dari luar, juga penuh tantangan, masalah, bahkan luka. Tapi entah bagaimana, mereka tetap bisa tersenyum, tetap tenang, tetap punya ruang dalam hatinya untuk bersyukur. Sebaliknya, ada pula orang yang tampaknya punya banyak hal — pekerjaan tetap, rumah nyaman, keluarga lengkap — tapi hatinya sering gelisah, mudah tersinggung, dan sulit merasa cukup.
Apa bedanya?
Mungkin jawabannya sederhana: cara melihat hidup.
Orang yang mudah bahagia biasanya punya kebiasaan kecil yang tidak selalu disadari — mereka memilih untuk melihat kebaikan, bahkan di tengah keadaan buruk. Saat gagal, mereka mencari pelajaran. Saat ditolak, mereka mencari arah baru. Saat dikhianati, mereka belajar mengenali siapa yang tulus. Bagi mereka, hidup memang tidak selalu ramah, tapi selalu bisa dimaknai.
Sedangkan orang yang susah bahagia cenderung fokus pada yang hilang, yang kurang, yang tidak sesuai harapan. Satu kejadian kecil bisa membuat mereka murung seharian. Satu komentar buruk bisa menutupi sepuluh pujian. Mereka bukan tidak ingin bahagia, hanya saja pandangannya sering tertutup oleh kekecewaan yang dipelihara terlalu lama.
Padahal, bahagia itu bukan soal keadaan yang sempurna. Bahagia adalah tentang cara hati menerima hidup apa adanya — dengan melihat kebaikan di balik setiap kerumitan, dengan percaya bahwa setiap yang datang, baik atau buruk, selalu membawa sesuatu untuk kita pelajari.
Hidup tidak akan pernah benar-benar bebas dari masalah. Tapi selama kita masih bisa menemukan secuil kebaikan dalam keadaan yang tampak buruk, masih bisa berterima kasih walau hanya untuk hal kecil — matahari pagi, udara yang sejuk, tawa anak, atau bahkan sekadar teh hangat di sore hari — maka bahagia tidak akan pergi jauh.
Karena sejatinya, bahagia bukan milik mereka yang hidupnya mudah. Bahagia adalah milik mereka yang hatinya mampu melihat kebaikan — bahkan ketika dunia tidak terlihat baik-baik saja.
Comments
Post a Comment