Tahun ini FFI selesai dengan riuh rendah yang cukup menghangatkan lini masa. Pialanya memang sudah dibagi, tapi obrolan soal kategori Soundtrack masih ramai—khususnya kemenangan lagu Sore dari Barasuara yang dianggap bukan karya baru. Belum ada penjelasan resmi juga, jadi ya… kita simpan dulu sebagai catatan rumah panitia tahun depan.
Sekarang mari fokus ke hal yang jauh lebih menarik: film
“Pangku”, debut penyutradaraan dari Reza Rahadian yang ternyata bikin banyak
orang manggut-manggut.
Awalnya banyak yang agak ragu, “Reza sutradara? Bisa apa?” Tapi ternyata dugaan itu runtuh total. Reza bukan cuma sekadar mencoba; dia benar-benar hadir sebagai sutradara. Dan kemenangan Film Panjang Terbaik terasa layak banget.
Dari yang Tadinya Dukung “Sore”, Pelan-Pelan Berpindah Haluan
Sebelum nonton Pangku, saya termasuk tim yang mengunggulkan Sore. Film itu rapi secara teknis, visualnya keren, CGI-nya halus, dan konsepnya beda dari arus utama. Tapi setelah menonton Pangku, perspektif saya berubah.
Kalau Sore bermain di wilayah estetika visual, Pangku
menggedor lewat cerita yang matang, riset yang kuat, dan penggambaran realitas
yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Film ini terasa seperti hasil
pengamatan panjang terhadap manusia dan keseharian mereka.
Kisah Pantura yang Dihidangkan dengan Kejujuran
Cerita berpusat pada Sartika, perempuan muda yang sedang
mengandung dan ditinggalkan begitu saja di Jalur Pantura. Ia akhirnya menemukan
tumpuan sementara di warung sunyi milik Ibu Maya, seorang perempuan tua yang
hidupnya juga tidak kalah sepi.
Dari dua orang inilah semua dinamika film bergerak. Tanpa
dibuat-buat, atmosfer Pantura disajikan secara apa adanya—panas, lengang, dan
agak muram. Tidak ada upaya “memoles” suasana menjadi cantik; Reza justru
memilih kejujuran visual, dan itu berhasil membuat film terasa sangat hidup.
Buat saya yang masih bersentruhan dengan pesisir sejak kecil, detail suasananya itu…
valid sekali.
Dialog Hemat, Tapi Rasa Meluap-Luap
Menariknya, film ini sangat pelit dialog. Banyak emosi
disampaikan lewat gerak kecil: tatapan yang menurun, bahu yang menegang, atau
napas yang ditahan. Dan anehnya, justru itu yang membuat emosi mudah tembus ke
penonton.
Ada satu adegan simbolis soal layang-layang yang diikat
tali—kecil, sederhana, tapi maknanya dalam. Karakter-karakter di film ini
seperti layang-layang itu: ingin lepas, ingin terbang jauh, tapi realitas
memaksa mereka tetap terikat. Jenis metafora yang bekerja tanpa perlu banyak
penjelasan.
Romansa yang Ringan, Twist yang Menyakitkan
Kemunculan Hadi, sopir ikan yang lembut dan perhatian, memberi sedikit cahaya dalam hidup Sartika. Ada harapan baru, ada kemungkinan hidup yang lebih baik. Waktu mereka menikah, saya benar-benar mengira film akan ditutup dengan nada optimis. Ternyata tidak. Bagian akhirnya menyimpan belokan tajam yang pahitnya khas Indonesia. Permasalahan yang sering kita lihat, sering kita dengar, tapi jarang benar-benar dibahas dengan jujur di film: dinamika rumah tangga ketika salah satu pasangan jadi TKW, dan apa yang terjadi di antara mereka setelah itu. Sebagai penonton, rasanya seperti ditampar pelan tapi dalam.
Film ini Tidak Ramai Tapi Membekas
Pangku adalah jenis film yang tidak banyak bicara,
tapi meninggalkan rasa lama setelah lampu studio menyala. Realistis, sederhana,
dan kuat dalam diamnya. Kalau kamu penggemar drama yang berbicara lewat detail
kecil dan emosi yang tidak meledak-ledak, film ini akan sangat memuaskan.

Comments
Post a Comment