Everythings Is Connected, Tentang Kearifan Lokal Yang Sering Terfitnah

Ilmu pengetahuan tentu saja sudah ada sejak zaman dahulu kala bahkan sejak zaman manusia belum mengenal tulisan. Pengetahuan – pengetahuan manusia pada zaman itu datang dari pengalaman – pengalaman hidup mereka sehari – sehari. Belajar dari pola, pergerakan dan penofema alam. Bisa dibilang pengetahuan mereka terjadi secara kebetulan. Terjadi, dirasakan, diamati dan di-story-telling-kan kepada generasi – gererasi selanjutnya untuk menjadi pengingat dan untuk waspada. Seperti mengamati munculnya rasi bintang tertentu yang menandakan musim tertentu, misalnya musim panen, musim banyak ikan dan menjadi penentu kapan harus bergerak melakukan sesuatu, kapan harus diam bertahan di dalam hunian. Sejak dahulu kala nenek moyang manusia telah belajar banyak berbagai macam adaptasi melalui pengalaman demi pengalaman mereka berada di alam semesta.  Beberapa berusaha memperpanjang ingatan dengan bertutur lalu lahirlah kepercayaan-kepercayaan tentang hal baik dan buruk yang terjadi di alam, lahirlah awig-awig  atau aturan yang menjadi pengatur sekaligus pembatas keinginan-keinginan manusia yang kadang melampaui batas. Pamali istilah yang dipakai jika melanggar. Manusia pada zaman itu percaya alam akan marah jika mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau jika memasuki wilayah-wilayah yang terlarang dan semua tunduk patuh menjalankan awig-awig nya karena keinginan untuk tidak mendapat celaka dan selamat. 

Seiring berjalannya waktu, mereka yang hidup berdampingan bahkan menyatu dengan alam ini disebut Masyarakat Adat dan hal-hal berupa tradisi yang mereka jalani guna menjaga alam dan kesetiaan pada nenek moyang kita sebut dengan kearifan lokal. Kearifan Lokal ini sependek yang saya tahu menjaga banyak tradisi yang tadinya berasal dari pengalaman-pengalaman leluhur kemudian menjadi tradisi suci yang harus dijaga. Namun semakin kesini Sebagian orang menjalankan nya hanya sebatas tradisi tanpa mau menggali lebih dalam alasan-alasan mengapa itu harus dilakukan. Penyebabnya bisa jadi ada tiga; pertama leluhur memilih mewariskan tradisi melalui cerita-cerita mitologi, dongeng dan hikayat karena memang terbatasnya pengetahuan dan sulit menejelankan fenomena alam maka bertutur adalah yang paling memungkinkan, kedua penerus tradisi menjalankan dengan setia tanpa berani mempertanyakan, ketiga pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan ajaran agama yang diterima secara mentah, hanya permukaannya saja. Padahal, sejauh yang saya fahami, agama berjalan beriringan dengan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal itu adalah ilmu pengetahuan yang belum aau sedang dipelajari secara ilmiah. Karena semua berkaitan. Everything is conncected.

Waktu terus berjalan, perkembangan zaman tak bisa dibendung. Ada fase masyarakat begitu mengagugkan modernisasi dan terus meners membenturkannya dengan kearifan lokal. Saya sendiri pernah mendengar dan merasakan disebut anak kampung, tau olat (orang gunung, sumbawa), dengan gawah (sasak, Lombok) semua berkonotasi buruk bahkan beberapa orang mengolok orang lainnya hanya karena tinggal dikampung, di kebun-kebun, di bukit-bukit yang jauh dari peradaban yang mereka sebut modern. Tingga di rumah panggung adalah miskin, Bertani adalah pekerjaan kasar dan memalukan, melakukan tradisi-tradisi adat disebut syirik dan takhayul dan sebagainya, padahal jika mau dikaji lebih dalam ada ilmu pengathuan yang amat sangat menarik disana. Kembali ke awal, leluhur manusia mengamati fenomena alam, beradaptasi dan mencoba berbagai macam hal untuk menemukan pola dan pergerakan alam dalam periode-periodenya. Bukankah itu pengetahuan yang bisa dipelajari secara ilmiah? Hanya saja mereka memiliki keterbatasan untuk menjelaskan secara runut, ilmiah dan tercatat maka bertutur, larangan-larangan, berdoa, menari, meniup seruling, membuang sajen ke laut atau sungai adalah cara mereka menjaga komunikasi agar tetap bisa berjalan dengan baik dan melindungi anak cucunya hingga hari ini, hingga akhirnya datang manusia yang menyebut diri modern menafikan itu semua, mementahkan itu semua dengan sebutan kampungan dan tahayul.

Tahukah kalian bahwa membuang sajen kepala ke laut sejatinya agar laut tetap memberi manusia ikan yang banyak? Kepala kerbau itu akan menjadi makanan lezat untuk plankton dan menyejahterakan ekosistem laut yang disadari atau tidak menyejahterakan manusia pula pada akhirnya. Tidak perlu melaut terlalu jauh pada akhirnya karena ikan-ikan hadir di tepian. Tahukah kalian bahwa suara dari Seruling dewa bisa mendatangkan hujan?  Ya buat banyak “modern dan beragama” itu adalah tahayul, syirik dan dosa. Padahal ada ilmu fisika dan kimia disana. Sudahkah kita mau pelajari bawah suara-suara memeliki tingkatan jenisnya? Sudahkan kita fahami sifat air? Sudahkah kita memahami bahwa ada titik-titik “magis” di muka bumi ini yang menjadi tempat mutlak meniup seruling dewa? Semua itu bisa dijelaskan dengan ilmiah oleh ilmu pengetahuan. Tapi kita memilih menganggapnya takhayul entah karena keterbatasan otak kita, karena kemalasan kita atau karena kita memakai kaca mata kuda yang membuat ogah melihat kiri kanan. Juga masih banyak hal lainnya dari kearifan lokal yang menunggu seseorang dari kita untuk mau mempelajari dan menjelaskan secara ilmiah.

Pada zaman dahulu orang yang bisa berkomunikasi jarak jauh dengan telepati adalah sakti, dunia modern mewujudkan itu saat ini dengan pengetahuan, terciptalah telepon, handphone dan  internet. Orang zaman dahuu percaya mereka yang bisa terbang adalah sakti karena dianggap tak mungkin, sekarang ilmu pengetahuan membuat hal itu menjadi niscaya. Hadir di hadapan kita pesawat terbang yang membawa puluhan bahkan ratusan badan. Sesungguhnya ada banyak hal-hal yang dianggap tahayul, syirik dll menunggu kita untuk “dibebaskan”  dari fitnah ini.

Allah SWT adalah yang paling agung, maha mengetahui, maha segalanya. Allah menurunkan manusia ke muka bumi berbekal akal juga hati agar seimbang jiwa raga kita. Sempurna rasa syukur kita, bijak membawa diri kita. Agar tak membabibuta kita mengatakan hal-hal yang tak baik pada alam dan pada sesame makhluk. Jika tak sesuai dengan pengetahuan kita, maka bertanyalah, jika tak puas dengan jawabannya maka jangan meghakimi apa yang orang lain Yakini. Percayalah semua berhubungan namun kita masih mencari jalan untuk terhubung. Mari terus belajar, terus menjadi bijak, terus menjadi baik dan berbaik hati pada semua makhluk. Karena kita adalah khalifah di muka Bumi yang bukan ditugaskan untuk berbaik-baik hanya pada mereka yang sama dengan kita saja, tapi untuk sekalian alam. Untuk semesta. Untuk Kita.

Dari Buku Kamu Terlalu Banyak Bercanda


Comments

  1. kalau saya berpikir, mungkin teknologi orang sebelum kita lebih maju, dengan adanya beberapa peninggalan sejarah yg terkadang belum terpecahkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat mas. Saya tadinya mau ngobrol sama mas Awan sebelum nulis ini hehe

      Delete
  2. pemikiran menarik di tengah banyak debat kusir yg bikin pusing, wisdom harus terus dilatih

    ReplyDelete
  3. Sy sdh lama menelusuri makna di balik tradisi leluhur, dan hal itu banyak mengungkapkan arti dan makna interaksi manusia dengan alam semesta, dan itu menakjubkan, dan apa yg disebut tradisi atopun adat istiadat adalah suatu bentukan sikap santun para leluhur terhadap sang Pencipta Alam semesta..

    ReplyDelete
  4. Bingung mw komen apa, tp andaikan tulisan ini mw d korelasikan dengan kejadian viralnya pawang hujan, saya hanya menyayangkan kenapa gak pakai pawang hujan lokal.

    ReplyDelete

Post a Comment