Waktu terus berjalan, perkembangan zaman tak bisa dibendung. Ada fase masyarakat begitu mengagugkan modernisasi dan terus meners membenturkannya dengan kearifan lokal. Saya sendiri pernah mendengar dan merasakan disebut anak kampung, tau olat (orang gunung, sumbawa), dengan gawah (sasak, Lombok) semua berkonotasi buruk bahkan beberapa orang mengolok orang lainnya hanya karena tinggal dikampung, di kebun-kebun, di bukit-bukit yang jauh dari peradaban yang mereka sebut modern. Tingga di rumah panggung adalah miskin, Bertani adalah pekerjaan kasar dan memalukan, melakukan tradisi-tradisi adat disebut syirik dan takhayul dan sebagainya, padahal jika mau dikaji lebih dalam ada ilmu pengathuan yang amat sangat menarik disana. Kembali ke awal, leluhur manusia mengamati fenomena alam, beradaptasi dan mencoba berbagai macam hal untuk menemukan pola dan pergerakan alam dalam periode-periodenya. Bukankah itu pengetahuan yang bisa dipelajari secara ilmiah? Hanya saja mereka memiliki keterbatasan untuk menjelaskan secara runut, ilmiah dan tercatat maka bertutur, larangan-larangan, berdoa, menari, meniup seruling, membuang sajen ke laut atau sungai adalah cara mereka menjaga komunikasi agar tetap bisa berjalan dengan baik dan melindungi anak cucunya hingga hari ini, hingga akhirnya datang manusia yang menyebut diri modern menafikan itu semua, mementahkan itu semua dengan sebutan kampungan dan tahayul.
Tahukah kalian bahwa membuang sajen
kepala ke laut sejatinya agar laut tetap memberi manusia ikan yang banyak? Kepala
kerbau itu akan menjadi makanan lezat untuk plankton dan menyejahterakan ekosistem
laut yang disadari atau tidak menyejahterakan manusia pula pada akhirnya. Tidak
perlu melaut terlalu jauh pada akhirnya karena ikan-ikan hadir di tepian.
Tahukah kalian bahwa suara dari Seruling dewa bisa mendatangkan hujan? Ya buat banyak “modern dan beragama” itu
adalah tahayul, syirik dan dosa. Padahal ada ilmu fisika dan kimia disana.
Sudahkah kita mau pelajari bawah suara-suara memeliki tingkatan jenisnya? Sudahkan
kita fahami sifat air? Sudahkah kita memahami bahwa ada titik-titik “magis” di
muka bumi ini yang menjadi tempat mutlak meniup seruling dewa? Semua itu bisa
dijelaskan dengan ilmiah oleh ilmu pengetahuan. Tapi kita memilih menganggapnya
takhayul entah karena keterbatasan otak kita, karena kemalasan kita atau karena
kita memakai kaca mata kuda yang membuat ogah melihat kiri kanan. Juga masih
banyak hal lainnya dari kearifan lokal yang menunggu seseorang dari kita untuk
mau mempelajari dan menjelaskan secara ilmiah.
Pada zaman dahulu orang yang bisa berkomunikasi jarak jauh dengan telepati adalah sakti, dunia modern mewujudkan itu saat ini dengan pengetahuan, terciptalah telepon, handphone dan internet. Orang zaman dahuu percaya mereka yang bisa terbang adalah sakti karena dianggap tak mungkin, sekarang ilmu pengetahuan membuat hal itu menjadi niscaya. Hadir di hadapan kita pesawat terbang yang membawa puluhan bahkan ratusan badan. Sesungguhnya ada banyak hal-hal yang dianggap tahayul, syirik dll menunggu kita untuk “dibebaskan” dari fitnah ini.
Allah SWT adalah yang paling agung,
maha mengetahui, maha segalanya. Allah menurunkan manusia ke muka bumi berbekal
akal juga hati agar seimbang jiwa raga kita. Sempurna rasa syukur kita, bijak
membawa diri kita. Agar tak membabibuta kita mengatakan hal-hal yang tak baik
pada alam dan pada sesame makhluk. Jika tak sesuai dengan pengetahuan kita,
maka bertanyalah, jika tak puas dengan jawabannya maka jangan meghakimi apa
yang orang lain Yakini. Percayalah semua berhubungan namun kita masih mencari
jalan untuk terhubung. Mari terus belajar, terus menjadi bijak, terus menjadi
baik dan berbaik hati pada semua makhluk. Karena kita adalah khalifah di muka Bumi
yang bukan ditugaskan untuk berbaik-baik hanya pada mereka yang sama dengan
kita saja, tapi untuk sekalian alam. Untuk semesta. Untuk Kita.
Dari Buku Kamu Terlalu Banyak Bercanda |
kalau saya berpikir, mungkin teknologi orang sebelum kita lebih maju, dengan adanya beberapa peninggalan sejarah yg terkadang belum terpecahkan
ReplyDeleteSepakat mas. Saya tadinya mau ngobrol sama mas Awan sebelum nulis ini hehe
Deletenice paradigma... 👍
ReplyDeletepemikiran menarik di tengah banyak debat kusir yg bikin pusing, wisdom harus terus dilatih
ReplyDeleteKeren ji
ReplyDeleteSy sdh lama menelusuri makna di balik tradisi leluhur, dan hal itu banyak mengungkapkan arti dan makna interaksi manusia dengan alam semesta, dan itu menakjubkan, dan apa yg disebut tradisi atopun adat istiadat adalah suatu bentukan sikap santun para leluhur terhadap sang Pencipta Alam semesta..
ReplyDeleteBingung mw komen apa, tp andaikan tulisan ini mw d korelasikan dengan kejadian viralnya pawang hujan, saya hanya menyayangkan kenapa gak pakai pawang hujan lokal.
ReplyDelete