Teman Kecilku Murtad


Hari masih siang, Jam di hape menunjukkan jam 2.23 menit. Rapat yang dimulai sejak jam 10 pagi baru kelar Ketika adzan zuhur berkmundang. Bukan materi rapatnya yang padat melainkan butuh waktu 30 menit lebih menunggu orang-orang yang belum datang.
Gila ya, kenapa di Indonesia selalu begitu? Yang datang tepat waktu “dihukum” yang telat malah diberi “penghargaan” dengan baru-memulai-rapat-ketika-mereka-tiba. Jadilah jam segini baru bisa istirahat di rumah.
 
Hape hampir mati tadi, batrainya 8% ketika aku tiba di rumah. Bahkan jam istirahat begini aku masih harus bekerja sebagai bagian kehumasan yang menjadi admin social media. Jam segini harus pos ini, jam segitu posting itu, semua sudah ada jadwalnya. Untungnya aku menikmati ya menjadi admin. Salah satunya karena aku bisa memakai akun official untuk stalking akun-akun dari orang-orang yang muncul secara acak aja gitu di pikiran. Tapi hari ini aku tidak ada niatan untuk stalking siapapun setelah menyelesaikan posting materi di Instagram dan facebook official, tapi sebuah akun yang muncul di barusan akun yang disarankan facebook menarik perhatianku. Akun teman masa kecilku. Bagaimana bisa? Seama ini aku sering sekali mengetikkan namanya di kolom pencarian facebook, Instagram dan twitter pribadiku tapi hasilnya nihil. Dia tidak pernah terjaring pencarian dari akunku. Tapi di akun ini justru ia yang muncul. Apakah dia memblokir akun ku? Tapi bua apa? Kami bahkan tidak pernah tahu kabar satu sama lain sejak belasan tahun lalu. Apakah aku punya salah yang ia tak bisa terima?
 
Tanpa berpikir panjang aku mulai membuka akunnya, membaca semua dari atas sampai bawah, terus ke timeline nya yang paling jauh dan menemukan banyak sekali cerita dan berita yang selama ini saya lewatkan. Bagian yang mengagetkan aku adalah dia sudah berpindah agama. Saya Kembali teringan sekitar 20an tahun yang lalu. Ketika saya masih duduk dibangku sekolah dasar.
 
***

Bagi semua anak sekolah jam keluar main atau jam istirahat adalah waktu yang dinanti-nanti. Begitupun aku dan tujuh belas teman kelasku juga bagi siswa lainnya. Semua berhambuan keluar kelas serempak dengan teriakan Bahagia. Sesaat kemudian semua sudah di posisi pilihan masing-masing. Belanja di kantin, manjat pohon Nangka besar di sebelah barat halaman sekolah, bermain bola atau sekedar duduk di teras kelas.
 
Di kelas ku, ada enam orang siswa perempuan dan sebelas orang siswa laki-laki. Buatku keluar main bukan hanya tentang belanja ke kantin tapi juga waktunya bermain silat-silatan dengan adik-adik kelasku. Kami akan memerankan tokoh-tokoh superhero di senetron favorit kami masa itu, aku selalu lebih dulu mengambil peran Panji Manusia Milenium, ada yang menjadi Saras, ada yang memerankan tokoh sinetron aksi Tiga Bidadari. Lucunya temanku yang akun facebooknya baru saja kutemukan ini sering berperan menjadi salah satu dari tiga bidadari ini karena kehabisan peran protagonist. Daripada menjadi penjahat mending jadi salah satu dari tiga bidadari walaupun ia seorag laki-laki. Seperti biasa permainan kami selalu terhenti ketika sedang seru-serunya. Bukan karena bel tanda masuk sudah berbunyi tetapi anak-anak lain, kakak-kakak kelas kami mulai mengacau. Mengolok-olok bahkan tak segan mengeplak kepala kami. Temanku tadi, sebut saja namanya Tyan akan menjadi sasaran empuk cibiran mereka dan keplakan mereka.
 
“Bencoong bencoong wooo laki-laki kok mainnya begitu. Main bola sana.Hahahaha”
 
Hampir setiap hari seperti itu, hampir setiap hari, hari-hari yang seharusnya mudah dan menyenangkan menjadi berat dan menyebalkan.
 
Teman-teman kelasku biasanya akan bertanding sepak bola dengan kelas lain. Aku tidak begitu menyukai sepak bola. Aku lebih menyukai sepak takraw tapi tidak mahir. Mungkin karena takraw team nya hanya terdir dari tiga orang saja. Tetapi anak laki-laki di kelasku hanya ada sebelas orang artinya aku tidak punya pilihan lain jika tak ingin mendapat perunrungan dari teman-temanku, aku harus ikut bermain melengkapi team. Beberapa temanku yang baik dan mengerti mengatakan bahwa aku hanya harus ikut saja, diam saja di tempat teduh asal masih di dalam lapangan. Teman-temanku yang lain sebaliknya. Kalau tidak ikut main, kamu bencong! Bagitu katanya. Taik!
 
***
Hari-hari di sekolah nyari seperti itu setiap hari. Di luar jam sekolah, di kampung kami hari-hari kami, jauh lebih berat. Orang dewasapun turut menjadi perundung bagi siapa saja yang berbeda kesukaannya, tak sama hobinya dengan mayoritas orang. Entah mengapa standar itu menjadi sempit dikampungku.
Tyan yang memang selalu punya kesibukan membantu kakaknya berjualan dan pekerjaan rumah lainnya memang tidak bisa ikut bermain seperti anak-anak lain. Ia cerdas, otaknya encer, ia juara dan mengajipun jago. Akupun demikian, lima waktu sholat di masjid, di sekolah aku selalu juara, aktif menjadi ketua redaksi mading sekolah, menjadi anggota pramuka dan PMR aktif seharusnya aku bisa diterima siapa saja. Tapi nyatanya semua itu tidak cukup dan tidak bisa meloloskan kami dari perundungan.
 
Aku ingat suatu pagi di sekolah. Aku barus aja memarkirkan sepedaku lalu berjalan ke lorong sekolah. Dari arah sudur parkiran entah berapa orang anak berteriak-teriak tidak jelas tapi jelas mereka mengolokku, entah apa olokannya tapi yang terakhir ku dengar mereka sambil tertawa dengan suara tinggi yang mengolok bilang “Woy Woy liat liat ada monyet bakau hahahaha” “nah nah kan sekarang jalannya makin mirip monyet pake walkman”
 
Aku yang akhirnya termakan olokan mereka bahkan sampai bingung dengan langkahku, kikuk dan kacau sekali rasanya. Mereka semakin tertawa dengan keras dan puas. Hatiku panas!
 
Sepanjang menjadi remaja SMP rasa-rasanya bisa dihitung jari hari-hari menyenagkan itu. Meskupun kamu punya segudang prestasi jangan kira semua orang akan sungkan, disini sebaliknya; kamulah sasarannya. Aku bahkan tidak tahu dibagian mana gaya berpakaian atau bersikapku yang salah. Aku selalu mengikuti nasehat orang tuaku, guru-guruku di sekolah, guru ngajiku dan bacaan-bacaannku. Bahwa aku harus menjadi anak yang baik, sopan dan pintar. Lalu salahnya dimana? Tyan salah apa sampai harus terus menerus setiap ia muncul mereka menyambutnya dengan ketawaan mengejek dan kata-kata yang buat mereka biasa saja tapi buat Tyan itu adalah pecahan beling yang dilemparkan ke badannya bertubi-tubi.
 
Masa remajaku semakin berat ketika aku mulai terbiasa menyalahkan diri sendiri. Mengapa aku tidak nakal saja seperti mereka agar hidup berjalan baik, kenapa aku harus seculun anggapan mereka, kenapa aku tidak suka bermain sepak bola. Kenapa aku bodoh sekali. Perilaku menyalahkan diri sendiri ini benar-benar toxic, karenanya setiap malam setiap hari selalu saja tiba-tiba datang perasaan membenci diri sendiri itu. Bahkan ketik tak ada pemicu ia muncul begitu saja, perasaan seketika menjadi seperti awan gelap yang suram, menyeramkan. Ia bisa muncul dimana dan kapan saja. Di kelas, di depan tv, di tempat tidur, dimanapun. Butuh usaha yang keras agar perasaan itu hilang. Bahkan dalam mimpipun mereka hadir sebagai mimpi buruk setiap malam.  Mengapa tidak cerita kepada orang dewasa? Alasannya jelas karena posisinya saya merasa bersalah kenapa saya berbeda sendiri? Bahkan orang-orang mencibir karena diantara saudara-saudara saya hanya saya yang tidak menemuki olahraga. Maka saya semakin tidak bisa bercerita pada siapapun karena menurutku posisinya aku yang salah.
 
 
Hingga akhirnya ketika akan lulus SMP aku memohon kepada orang tuaku agar aku bisa memilih sendiri SMA mana tempat aku melanjutkan sekolahku. Aku ingin terbebas dari suara-suara yang setiap hari menjadi mimpi buruk dalam alam bawah sadarku. Maka ketika memasuki SMA aku memasuki sebuah hidup baru yang menyenangkan. Hingga pada tahun aku lulus SMA, 
pada satu titik aku menyadari satu hal. Bahwa saat itu bukan aku yang salah, tempatku berada saat itu yang tidak cocok untukku
 
Lalu Tyan bagaimana? Setahuku ia masih harus berjuang menghadapi lidah-lidah tajam tanpa perasaan itu karena ia melanjutkan SMP dan SMA di sekitar situ saja. Sejak itu aku kehilangan kontak dan meski bertemu kami tak pernah sempat bertegur sapa. Aku mengerti apa yang ia rasakan, yang ia pikirkan.
 
***
Pada akhirnya tanyaku terjawab sudah. Dari facebook aku akhirnya tahu semua. Tyan pindah ke Bandung entah sejak selesai SMA atau beberapa tahun setelah itu. Ia Memulai hidup baru disana, menjadi dirinya yang baru di tempat yang tak ada jejak masa lalu selain yang ada dalam otak kecilnya. Ia memposting banyak foto dirinya yang sudah benar-benar berubah menjadi lelaki bertubuh tinggi dan berotot besar. Ia Bahagia dengan teman-teman barunya yang menerimanya apa adanya. Ia akhirnya menemukan “rumah” yang ia cari. Benar kata Dee Lestari di Supernova : Partikel, “Jika di dalam hati tenang, semua tempat bisa menjadi rumah” dan Tyan akhirnya memutuskan untuk dibabtis.
 
Jujur saya senang melihat kehidupannya yang sekarang meski sejujurnya juga saya tidak kanget dengan pilihannya untuk murtad. Ia menemukan rumahnya disana setelah tempat yang harusnya menjadi rumah yang nyaman malah membuatnya tersiksa. Hal yang wajar ketika seseorang menentukan pilihan terbaik menurutnya. Demi menjaga keseamatan mentalnya setelah terbunuh berkali-kali.
 
Ia terlihat Bahagia lewat unggahan-unggahannya. Ia tak perlu membuktikan apa-apa lagi pada siapapun. Hanya bahagia dengan hidupnya. Aku lega meski jujur ada perasaan yang menyayangkan kita tak seakidah lagi, tak bisa puasa dan lebaran bersama lagi seperti masa kecil yang bahagianya selalu terpotong-potong oleh orang-orang bermulut kejam.  Tapi tidak apa-apa, tidak seakidah tapi kita masih sesama manusia yang tetap harus saling menghargai dan menghormati.
 
***
 
Suatu hari, saya mendapat kesempaan menjadi pembicara disebuah penyuluhan untuk anak-anak  di salah satu lingkungan di wilayah sekitar SMP kami dulu. Disana banyak terjadi pernikahan dini dan perceraian dini yang mengakibatkan banyak anak-anak tidak mendapatkan haknya sebagai anak. Saya berdiri di depan warga, berbicara tentang perundungan. Siapa sangka wajah-wajah yang sering menjadi mimpi buruk saya 20an ahun yang lalu ada di depanku. Sembari terus menatap tenang ke matta mereka,  aku menceritakan pengalamanku menjadi korban perundungan. Aku beri tahu mereka bahwa bahkan sampai detik ini rasa sakitnya masih sama, ia terus berada di alam bawah sadarku dan berkali-kali menjadi penghalang langkah-langkahku menggapai mimpi. Betapa jahatnya para pembuli.
 
Seketika tanganku bergetar memegang mikrofon, mataku memanas, lalu berkaca-kaca. Andai ia tahun proses yang aku lalui sampai bisa berada disini hari ini. Andai ia merasakan bagaimana rasanya kehilangan banyak kesempatan meraih mimpi hanya karena luka batin yang kerap muncul traumanya di saat-saat yang tidak tepat. Andai ia tahu betapa berat dan panjang proses penyembuhan untuk luka-luka yang disayatkan oleh lidah nya. Mungkin ia akan berpikir berkali-kali untuk merundung. Namun percayalah mereka tidak akan pernah ingat apa yang telah mereka lakukan dan ucapkan.
 
Mereka tak akan percaya ada orang yang sampai murtad karena dirundung. Mereka akan bertanya “Kok bisa”? atau “Kok lemah sekali imannya?” “Masa segitunya sih, sampai pindah agama”? taik!
 
Semoga saja generasi selanjutnya mengerti dan tak ada lagi basa basi busuk yang menyenangkan buat mereka tapi mematikan buat orang lain. Untuk temanku, semoga kamu bahagia dengan apapun pilihanmu. Semoga bisa bebas dari luka batin masa kecil yang seperti kerikil tajam di dalam Sepatu kita...
 
 
 
Mataram, 2 Januari 2023

Comments

  1. kita hampir sama Jie....sy jg dulu bgitu....makanya sy hijrah kemtram, jarang2 sy pulang, nggak tau kenapa ya orang2 dulu itu suka membuly....mereka mmbuly itu dianggap sbgai hiburan gratis...bener2 mrka mnikmati melihat kita sedih dibuly

    ReplyDelete

Post a Comment