Duka: Bukan Musuh, Tapi Guru Kehidupan (Sebuah Refleksi Kehilangan)

Duka jangan dilawan. Ia akan makin menggila. Ajak saja berdamai. Setidaknya ia akan terasa landai. Karena sejatinya, duka bukan musuh. Ia adalah guru.

Dalam hidup, kita diajari banyak hal—tentang cinta, harapan, kebahagiaan, pencapaian. Namun, pelajaran paling dalam, paling berbekas, justru datang dari kehilangan, dari kegagalan, dari luka, dari duka yang tak bisa ditawar.

Kita sering ingin menyingkirkan duka seperti noda di pakaian putih. Kita ingin cepat-cepat bersih, cepat-cepat bahagia lagi. Tapi duka bukan sesuatu yang bisa dibasuh pakai air mata lalu hilang begitu saja. Ia butuh ruang. Ia butuh waktu. Dan lebih dari itu—ia butuh kita untuk mendengarkannya.

Saat kehilangan seseorang yang kita cintai, atau saat impian yang kita perjuangkan runtuh dalam sekejap, rasanya seperti dunia berhenti. Tapi justru di titik itu, kita sedang diberi pelajaran tentang melepas, berserah, dan menerima.

Duka mengajarkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang memiliki, tapi juga tentang merelakan. Bahwa tidak semua yang datang akan menetap, dan tidak semua yang hilang berarti akhir.  

Ada luka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Yang hanya bisa dipahami oleh hati yang pernah patah. Dan di sanalah, letak keindahannya.  Karena saat kita berhenti melawan duka, dan mulai bersahabat dengannya—kita mulai tumbuh. Pelan-pelan, kita belajar menyembuhkan diri sendiri. Belajar bahwa tidak apa-apa jika tidak baik-baik saja. Belajar bahwa menangis bukan tanda lemah, tapi tanda bahwa hati kita masih hidup dan mampu merasa.

Tidak ada musim yang abadi, termasuk duka. Ia datang bukan untuk tinggal selamanya, tapi untuk menguatkan.  Saat duka pergi, ia akan meninggalkan kita yang lebih bijak, lebih lembut, dan lebih manusiawi. Biarkan ia menunjukkan makna dari kehilangan, agar saat bahagia datang lagi—kita benar-benar bisa menghargainya.  Kita tidak harus selalu menemukan alasan atas segala hal yang menyakitkan. Tapi kita bisa menemukan makna.

Duka hadir agar kita lebih dalam mengenal diri sendiri. Agar kita tahu batas sabar kita sejauh mana. Agar kita tahu bahwa kita ternyata lebih kuat dari yang kita kira. Dan dari semua luka yang pernah kita lewati,  kita akan menyadari satu hal: Ternyata kita bisa bertahan.

Jadi, saat duka datang mengetuk pintu hati, jangan buru-buru mengusirnya. Persilakan ia duduk. Dengarkan ia bercerita. Lalu biarkan ia pergi dengan sendirinya. Karena setelah itu, akan datang masa di mana hati kita—yang dulu pernah luka—akan berani mencintai hidup lagi, lebih utuh, lebih dalam, lebih tulus.

Comments