Setiap kali harga kebutuhan pokok naik, kita marah. Tapi jarang ada yang benar-benar tahu siapa yang sebenarnya bermain di balik layar. Politik dan ekonomi di negeri ini ibarat dua sisi uang logam: satu untuk rakyat, satu lagi untuk mereka yang memegang koinnya. Isu tentang ongkos politik dan ekonomi oligarki selalu punya daya guncang besar. Bukan hanya karena rumit, tapi karena terasa dekat — langsung ke dapur, ke rekening listrik, ke isi dompet kita.
Coba perhatikan, setiap program besar yang katanya “untuk rakyat”, selalu saja punya cerita lain di belakangnya. “Makan Gratis Nasional”, misalnya, terdengar indah di spanduk dan baliho. Tapi benarkah gratis? Setiap rupiah untuk program itu tetap bersumber dari uang publik: pajak, utang negara, dan sumber daya yang seharusnya kembali ke rakyat. Lalu, siapa sebenarnya yang kenyang? Anak-anak sekolah di pelosok, atau perusahaan penyedia logistik dan proyeknya yang terafiliasi dengan elite tertentu? Kita bisa menyebutnya dengan banyak nama — oligarki, kroni, jaringan politik. Tapi intinya sama: ketika uang publik dipakai untuk memperkuat segelintir orang, maka demokrasi hanya tinggal dekorasi.
Contoh lainnya, Koperasi Desa Merah Putih. Di atas kertas, ini tampak seperti gerakan ekonomi rakyat. Tapi di lapangan, seringkali muncul pertanyaan: apakah ini benar-benar tentang kemandirian warga, atau sekadar alat untuk mengontrol ekonomi lokal lewat struktur yang terpusat?
Dan baru-baru ini, muncul ide tentang Patriot Bond dan Danantara — instrumen keuangan yang katanya untuk memperkuat ekonomi nasional. Tapi benarkah ini bentuk cinta tanah air, atau justru cara halus oligarki membeli “asuransi politik” menjelang tahun-tahun strategis?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang tak nyaman. Tapi justru di situlah letak pentingnya: menyadarkan publik bahwa demokrasi dan ekonomi bukan hanya urusan di gedung parlemen, melainkan urusan di meja makan setiap keluarga Indonesia. Karena pada akhirnya, isu-isu seperti ini bukan cuma soal elite, melainkan soal siapa yang menanggung ongkos dari keputusan mereka. Dan, selama uang rakyat terus jadi bahan bakar untuk kendaraan politik para penguasa, kita hanya akan tetap jadi penumpang — bukan pengemudi.

Comments
Post a Comment