Hutan Rusak, Guru Didesak : Stop Menjadikan Ruang Kelas sebagai “Tempat Sampah” Solusi Masalah Negara

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang meminta guru menyisipkan materi kesadaran menjaga hutan ke dalam silabus sebagai respons atas banjir dan longsor di Sumatera terdengar mulia di permukaan. Namun bagi ratusan ribu guru di lapangan, instruksi ini justru terasa seperti potret nyata ketidakpahaman negara terhadap realitas pendidikan hari ini.

Niat menyelamatkan lingkungan tentu patut diapresiasi. Namun membebankan solusi atas persoalan struktural—deforestasi, illegal logging, tata kota yang semrawut—ke pundak guru adalah bentuk kemalasan berpikir dalam merancang kebijakan publik. Seolah-olah setiap kegagalan negara selalu bisa “dibuang” ke ruang kelas.

Beban Guru yang Kian Melampaui Batas Kemanusiaan

Pemerintah perlu benar-benar membuka mata terhadap fakta di lapangan. Guru di Indonesia hari ini bukan lagi sekadar pengajar. Mereka telah bermetamorfosis secara paksa menjadi pekerja multi-peran dengan beban yang semakin tidak masuk akal.

1. Beban Administratif yang Mencekik
Berbagai riset dan laporan komunitas guru menunjukkan bahwa porsi besar waktu kerja guru habis untuk urusan administrasi. Mulai dari kewajiban mengisi Platform Merdeka Mengajar (PMM), mengunggah bukti dukung, E-Kinerja, hingga pengelolaan data di Dapodik. Waktu yang seharusnya dipakai untuk mempersiapkan pembelajaran justru tersedot oleh tuntutan aplikasi yang terus berganti.

2. Peran Ganda: Konselor hingga Bendahara
Di banyak sekolah, terutama di daerah yang kekurangan tenaga kependidikan, guru dipaksa merangkap berbagai peran. Guru kelas harus menjadi konselor bagi siswa dengan masalah psikologis, menjadi “orang tua kedua” bagi anak-anak bermasalah, bahkan dipaksa menjadi Bendahara BOS. Mereka harus berurusan dengan pajak, SPJ, dan laporan keuangan, tanpa latar belakang akuntansi yang memadai.

3. Obesitas Kurikulum
Setiap kali muncul masalah nasional, solusinya selalu sama: “masukkan ke kurikulum.” Korupsi? Masukkan pendidikan antikorupsi. Narkoba? Tambahkan materi antinarkoba. Kini banjir dan longsor? Masukkan silabus jaga hutan. Kurikulum kita mengalami obesitas akut. Sementara itu, literasi dan numerasi dasar siswa Indonesia masih tertinggal jauh, sebagaimana tercermin dalam skor PISA yang stagnan bahkan cenderung menurun.

Salah Diagnosis Masalah

Banjir dan longsor di Sumatera bukan terjadi karena anak SD tidak paham cara menanam pohon. Bencana itu lahir dari penegakan hukum yang lemah terhadap perusak hutan, perizinan tambang dan sawit yang ugal-ugalan, serta tata ruang yang amburadul.

Mengajarkan “kesadaran jaga hutan” di kelas tidak akan menghentikan alat berat yang membabat hutan lindung besok pagi. Itu adalah tugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta aparat penegak hukum. Bukan tugas guru Matematika, Bahasa Indonesia, atau IPA yang setiap hari sudah berjibaku dengan keterbatasan fasilitas dan tekanan administrasi.

Negara Harus Berhenti “Mencuci Tangan”

Jika Presiden dan pemerintah benar-benar serius membenahi pendidikan dan lingkungan sekaligus, maka langkahnya bukan dengan menambah beban silabus. Yang dibutuhkan justru kebijakan konkret:

  1. Kembalikan Guru ke Ruang Kelas
    Hapus beban administrasi yang tidak relevan dengan pembelajaran. Perkuat tenaga administrasi sekolah agar guru tidak lagi dipaksa menjadi operator data atau bendahara.
  2. Fokus pada Penegakan Hukum Lingkungan
    Jangan melempar tanggung jawab kerusakan alam ke dunia pendidikan. Tindak tegas korporasi perusak lingkungan, benahi perizinan, dan perkuat pengawasan hutan.
  3. Sejahterakan Dulu, Baru Menuntut
    Selesaikan persoalan guru honorer, perbaiki kesejahteraan, dan jamin perlindungan profesi guru sebelum menuntut mereka menyelamatkan hutan, moral bangsa, dan masa depan negara sekaligus.

Guru adalah fondasi peradaban. Mereka bukan “keranjang sampah” untuk menampung segala solusi instan atas kegagalan negara mengurus masalah strukturalnya. Biarkan guru fokus mengajar. Dan biarkan pemerintah fokus bekerja membenahi regulasi dan penegakan hukum.

Fakta Data Di Bawah ini Tak Bisa Diabaikan

  • Survei P2G (Perhimpunan Pendidikan dan Guru) berkali-kali menyoroti bahwa aplikasi seperti PMM menambah jam kerja guru di luar sekolah dan menggerus waktu istirahat serta persiapan mengajar.
  • Kasus Bendahara BOS, tak sedikit guru yang terjerat masalah hukum atau mengalami stres berat karena dipaksa mengelola keuangan tanpa kompetensi akuntansi.
  • Skor PISA Indonesia yang stagnan bahkan menurun pada literasi, matematika, dan sains menunjukkan bahwa fokus guru sudah terpecah, sehingga penambahan materi non-esensial hanya akan memperburuk kualitas pembelajaran dasar.

Negara tidak boleh terus-terusan menyelesaikan persoalan besar dengan cara termudah: melemparkannya ke ruang kelas. Jika pola ini terus dibiarkan, maka bukan hanya hutan yang terus rusak—pendidikan kita pun akan ikut tumbang perlahan.

Comments