Tolong Ibu, Nak....
Hujan gerimis turun tanpa henti sejak pagi tadi, menambah kelam suasana rumah kecil di sudut perumahan itu. Sore tadi, para tamu terakhir dari pengajian ketiga untuk almarhumah ibu Omar sudah pulang. Sekarang, hanya ada keheningan yang menyelimuti setiap sudut rumah. Omar duduk diam di ruang tamu yang masih berantakan, dengan gelas-gelas kosong dan piring-piring kotor berserakan di meja.
Ia menatap foto ibunya yang tergantung di dinding. Senyuman ibunya dalam foto itu terasa begitu jauh, seperti sebuah kenangan yang semakin memudar.
“Bu... kenapa harus secepat ini?” gumam Omar pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah derasnya hujan yang memukul atap seng di luar.
Ketika malam tiba, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Omar memutuskan untuk merapikan sisa-sisa pengajian. Ia membawa piring-piring ke dapur, mencuci dengan perlahan, seolah berharap aktivitas itu bisa mengalihkan pikirannya dari rasa kehilangan yang menusuk. Namun, rasa dingin yang aneh mulai merayapi tengkuknya. Ia menoleh ke arah ruang makan, tetapi hanya menemukan kegelapan yang pekat karena lampu telah dimatikan.
“Ah, mungkin cuma angin,” pikirnya, mencoba menenangkan diri.
Namun, keanehan dimulai ketika ia kembali ke ruang tamu. Pintu depan yang tadi ia kunci terdengar berderak, seperti ada seseorang yang mencoba membukanya dari luar. Omar membeku di tempat, jantungnya berdegup kencang. Perlahan, ia mendekati pintu, memastikan tidak ada yang salah. Saat ia menyentuh kenop pintu, suara itu berhenti.
“Halo? siapa di luar?” tanyanya dengan suara gemetar. Tidak ada jawaban.
Ia menelan ludah, lalu mengintip melalui jendela kecil di samping pintu. Gelap. Tidak ada siapa pun. Namun, perasaan bahwa ia sedang diawasi semakin kuat. Omar mencoba mengabaikannya dan kembali ke kamarnya.
Ketika ia hendak naik ke tempat tidur, lemari di sudut kamar tiba-tiba berderit, pintunya terbuka perlahan. Omar mematung, napasnya tercekat. Dengan tangan gemetar, ia mendekati lemari itu dan menutup pintunya kembali. Tapi saat ia berbalik, suara itu muncul lagi—kali ini lebih keras.
“Cukup!” teriak Omar, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi lemari itu tetap diam, tidak bergerak lagi. Ia akhirnya duduk di tempat tidur, menarik selimut hingga ke dada, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya efek kesedihan yang berlebihan.
Namun, malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidupnya. Setiap suara, setiap bayangan di dinding, seolah bersekongkol untuk mengingatkan Omar bahwa ia tidak sendirian di rumah itu.
***
Cahaya matahari menembus tirai jendela, membawa kehangatan yang terasa asing bagi Omar setelah malam yang mencekam. Suara burung berkicau dari kejauhan seolah berusaha menghapus sisa-sisa ketegangan di rumah itu. Omar berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lelah. Matanya merah karena kurang tidur, tetapi ada sesuatu dalam sinar matahari pagi yang membuatnya merasa sedikit lebih baik.
Di meja makan, ia melihat cangkir kopi yang biasa digunakan ibunya masih tersimpan di sana. Sekilas, bayangan ibunya yang sedang menuangkan kopi muncul dalam benaknya. “Bu, aku rindu...” bisiknya pelan.
Ingatan tentang ibunya membuat Omar teringat perjuangannya selama ini melawan kanker. Dua tahun terakhir adalah masa-masa yang berat. Sejak kepergian ayah tirinya yang tiba-tiba, ibunya menjadi sosok yang lebih kuat, meski tubuhnya semakin melemah.
“Jangan khawatir, Nak. Kita pasti bisa,” adalah kalimat yang sering diucapkan ibunya, meskipun wajahnya jelas menunjukkan kelelahan.
Namun, di balik kesedihan itu, Omar juga teringat masa-masa bahagia bersama keluarganya. Ayah tirinya, Pak Anton, adalah sosok yang penuh perhatian. Ia sering mengajak Omar dan Dika, kakak tirinya, untuk melakukan banyak kegiatan bersama. Mereka memasak di dapur sambil bercanda, makan malam bersama dengan penuh tawa, bahkan menghabiskan akhir pekan dengan olahraga atau karaoke.
Salah satu kenangan paling indah yang diingat Omar adalah saat mereka semua memasak bersama untuk acara ulang tahun ibunya. Pak Anton yang memimpin di dapur, Dika sibuk memotong sayuran, dan Omar mengaduk nasi yang mendidih. Malam itu diakhiri dengan mereka bertiga bernyanyi bersama di ruang tamu. Ibunya tertawa bahagia.
Ia menatap foto ibunya yang tergantung di dinding. Senyuman ibunya dalam foto itu terasa begitu jauh, seperti sebuah kenangan yang semakin memudar.
“Bu... kenapa harus secepat ini?” gumam Omar pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah derasnya hujan yang memukul atap seng di luar.
Ketika malam tiba, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Omar memutuskan untuk merapikan sisa-sisa pengajian. Ia membawa piring-piring ke dapur, mencuci dengan perlahan, seolah berharap aktivitas itu bisa mengalihkan pikirannya dari rasa kehilangan yang menusuk. Namun, rasa dingin yang aneh mulai merayapi tengkuknya. Ia menoleh ke arah ruang makan, tetapi hanya menemukan kegelapan yang pekat karena lampu telah dimatikan.
“Ah, mungkin cuma angin,” pikirnya, mencoba menenangkan diri.
Namun, keanehan dimulai ketika ia kembali ke ruang tamu. Pintu depan yang tadi ia kunci terdengar berderak, seperti ada seseorang yang mencoba membukanya dari luar. Omar membeku di tempat, jantungnya berdegup kencang. Perlahan, ia mendekati pintu, memastikan tidak ada yang salah. Saat ia menyentuh kenop pintu, suara itu berhenti.
“Halo? siapa di luar?” tanyanya dengan suara gemetar. Tidak ada jawaban.
Ia menelan ludah, lalu mengintip melalui jendela kecil di samping pintu. Gelap. Tidak ada siapa pun. Namun, perasaan bahwa ia sedang diawasi semakin kuat. Omar mencoba mengabaikannya dan kembali ke kamarnya.
Ketika ia hendak naik ke tempat tidur, lemari di sudut kamar tiba-tiba berderit, pintunya terbuka perlahan. Omar mematung, napasnya tercekat. Dengan tangan gemetar, ia mendekati lemari itu dan menutup pintunya kembali. Tapi saat ia berbalik, suara itu muncul lagi—kali ini lebih keras.
“Cukup!” teriak Omar, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi lemari itu tetap diam, tidak bergerak lagi. Ia akhirnya duduk di tempat tidur, menarik selimut hingga ke dada, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya efek kesedihan yang berlebihan.
Namun, malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidupnya. Setiap suara, setiap bayangan di dinding, seolah bersekongkol untuk mengingatkan Omar bahwa ia tidak sendirian di rumah itu.
***
Cahaya matahari menembus tirai jendela, membawa kehangatan yang terasa asing bagi Omar setelah malam yang mencekam. Suara burung berkicau dari kejauhan seolah berusaha menghapus sisa-sisa ketegangan di rumah itu. Omar berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terlihat lelah. Matanya merah karena kurang tidur, tetapi ada sesuatu dalam sinar matahari pagi yang membuatnya merasa sedikit lebih baik.
Di meja makan, ia melihat cangkir kopi yang biasa digunakan ibunya masih tersimpan di sana. Sekilas, bayangan ibunya yang sedang menuangkan kopi muncul dalam benaknya. “Bu, aku rindu...” bisiknya pelan.
Ingatan tentang ibunya membuat Omar teringat perjuangannya selama ini melawan kanker. Dua tahun terakhir adalah masa-masa yang berat. Sejak kepergian ayah tirinya yang tiba-tiba, ibunya menjadi sosok yang lebih kuat, meski tubuhnya semakin melemah.
“Jangan khawatir, Nak. Kita pasti bisa,” adalah kalimat yang sering diucapkan ibunya, meskipun wajahnya jelas menunjukkan kelelahan.
Namun, di balik kesedihan itu, Omar juga teringat masa-masa bahagia bersama keluarganya. Ayah tirinya, Pak Anton, adalah sosok yang penuh perhatian. Ia sering mengajak Omar dan Dika, kakak tirinya, untuk melakukan banyak kegiatan bersama. Mereka memasak di dapur sambil bercanda, makan malam bersama dengan penuh tawa, bahkan menghabiskan akhir pekan dengan olahraga atau karaoke.
Salah satu kenangan paling indah yang diingat Omar adalah saat mereka semua memasak bersama untuk acara ulang tahun ibunya. Pak Anton yang memimpin di dapur, Dika sibuk memotong sayuran, dan Omar mengaduk nasi yang mendidih. Malam itu diakhiri dengan mereka bertiga bernyanyi bersama di ruang tamu. Ibunya tertawa bahagia.
Namun, kebahagiaan itu hilang ketika suatu pagi Anton pamit ke kantor seperti biasa bersama anak-anaknya dan tak pernah kembali lagi. Dian bingung dan gamang karena tak ada pertanda atau pesan atau apapun yang ia ketahui menjadi penyebab Anton dan Dika anaknya pergi dan menghilang.
***
Malam itu, ketika Omar mencoba tidur lebih awal, gangguan kembali muncul. Kali ini, lebih jelas dan lebih mengancam. Jendela kamarnya bergetar keras, seolah ada seseorang yang berusaha membukanya dari luar. Omar menahan napas, matanya tertuju pada jendela yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Angin dingin masuk, membawa serta bau aneh yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Omar mencoba memberanikan diri mendekati jendela. Namun, sebelum ia sempat menutupnya, suara langkah kaki terdengar di lorong rumah. Langkah itu berat, seperti seseorang yang berjalan dengan susah payah.
“Siapa di sana?” teriak Omar, tetapi hanya keheningan yang menjawab.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka perlahan. Dalam gelap, Omar bisa melihat bayangan seorang wanita berdiri di ambang pintu. Wajahnya tidak terlihat jelas, tetapi ada aura kesedihan yang memancar darinya.
“Ibu?” panggil Omar dengan suara bergetar. Namun, sosok itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, memandang Omar dengan tatapan kosong. Dalam bentuk yang samar, pudar.
“Bu, apa yang Ibu mau?” tanyanya lagi, hampir menangis. Tapi sosok itu perlahan menghilang, meninggalkan aroma bunga melati yang menyengat di udara.
Omar terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Ia tahu bahwa ini baru permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Arwah ibunya belum tenang, dan ia harus menemukan jawabannya.
Bersambung ke --> Ibu Pulang [Bagian 2]
Ada sesuatu yg ganjal yg dialami ibu omar
ReplyDeleteCerita yg menarik. Sudah gak sabar ingin melanjutkan ceritanya ke bagian 2 dan 3
ReplyDelete