Pernikahan Dian dan Dirman 17 tahun lalu awalnya penuh cinta namun perlahan berubah menjadi medan pertarungan batin yang melelahkan. Selama sembilan tahun, mereka berusaha mempertahankan hubungan itu meskipun sering terjadi perbedaan pendapat. Namun, menjelang tahun ke sepuluh, perbedaan kecil yang dulu mereka anggap sepele berubah menjadi jurang pemisah yang semakin lebar.
Bagi Dian, Dirman adalah pria yang baik—terlalu baik hingga terkesan lembek dan tidak ambisius. Dirman, dengan sikapnya yang selalu sabar dan penuh perhitungan, sering dianggap Dian sebagai seseorang yang terjebak dalam zona nyaman. Ia merasa suaminya terlalu puas dengan apa yang sudah mereka miliki, tanpa berusaha lebih jauh untuk berkembang. Di sisi lain, Dirman merasa dirinya sudah memberikan segalanya. Ia bekerja keras mengelola usahanya, menyediakan semua kebutuhan rumah tangga, dan memastikan Omar tumbuh dengan kasih sayang.
“Mas, apa kamu nggak pernah kepikiran buat pindah lokasi? Toko kita ini udah terlalu kecil untuk berkembang,” ujar Dian suatu malam.
Dirman hanya menatapnya dengan senyum kecil. “Bu, usaha ini sudah cukup menghidupi kita. Relokasi itu mahal dan berisiko. Aku lebih baik fokus di sini, menjaga apa yang sudah kita punya.”
Jawaban itu selalu menjadi pemicu kemarahan Dian. Ia merasa Dirman tidak memiliki keberanian untuk melangkah lebih jauh. Tak jarang, perdebatan itu berujung pada saling diam berhari-hari.
Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang tidak pernah Dirman bayangkan. Dian telah menemukan energi baru dalam hidupnya—Anton, seorang pria karismatik yang ia kenal dalam sebuah bazar UMKM beberapa bulan sebelumnya. Anton adalah anggota legislatif daerah, seorang pria flamboyan dengan penampilan yang bersih dan wajah yang selalu tampak segar. Ketika pertama kali bertemu, Anton memuji semangat Dian dalam mengembangkan organisasi nya yang selalu memberi support pada Perempuan-perempuan pengusaha di kotanya, sesuatu yang jarang ia dengar dari Dirman.
“Kamu ini inspiratif, lho, Mbak Dian. Saya yakin bisnis seperti ini bisa jadi jauh lebih besar kalau kamu dapat dukungan yang tepat,” ucap Anton, dengan senyum yang memancarkan pesona.
Pujian itu menjadi awal dari hubungan yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang terlarang. Dian, yang haus akan perhatian dan dorongan, merasa menemukan seseorang yang bisa memberinya apa yang selama ini ia cari. Anton, di sisi lain, tergoda oleh kecantikan dan ambisi Dian yang seolah tak mengenal batas.
Mereka mulai sering bertemu dengan alasan pekerjaan. Awalnya hanya makan siang bersama, kemudian berlanjut hingga larut malam di hotel-hotel kecil di pinggir kota. Dian selalu beralasan ada rapat organisasi atau acara sosial ketika pulang larut malam. Dirman, yang mempercayai istrinya sepenuh hati, tidak pernah mencurigai apa pun.
Namun, kebohongan itu mulai meninggalkan jejak. Dian semakin sering marah-marah tanpa alasan jelas, terutama ketika Dirman menolak usulan-usulannya. Puncaknya terjadi ketika Dian meminta Dirman untuk memindahkan tokonya ke tempat yang lebih besar, dengan bantuan dana dari Anton.
“Ini kesempatan besar, Mas. Kamu tinggal ambil dana itu, dan kita bisa berkembang jauh lebih cepat!” ujar Dian, nada suaranya penuh Lingkungankan.
“Dana dari Anton?” Dirman memicingkan mata. “Dia itu anggota dewan, bukan investor. Aku nggak yakin ini ide yang baik.”
“Apa salahnya mencoba? Kamu ini selalu takut ambil risiko!” seru Dian, suaranya meninggi.
Perdebatan itu berakhir dengan kemarahan yang membara. Dian merasa Dirman adalah penghalang bagi ambisinya, sementara Dirman merasa semakin tidak mengenal istrinya sendiri.
***
Hubungan terlarang antara Dian dan Anton semakin sulit disembunyikan. Ketika Dirman mulai mencium aroma parfum mahal yang tidak pernah ia kenali di pakaian Dian, ia hanya mengabaikannya, mengira itu mungkin pemberian teman-teman organisasi. Ketika Dian mulai semakin sering keluar rumah dengan alasan pekerjaan, Dirman hanya menganggap istrinya semakin sibuk.
Namun, kebohongan itu akhirnya terkuak ketika Dian menggugat cerai. Dalam sidang, Dian menuduh Dirman sebagai suami yang tidak mampu menjadi kepala keluarga, menyebutnya terlalu perhatian pada keluarganya di Jawa. Dirman memang rutin mengirim uang belanja untuk adiknya namun itu Dirman lakukan setelah semua tanggung jawabnya pada keluarganya sudah terpenuhi lebih dulu. Tuduhan itu seperti tusukan belati di hati Dirman. Selama ini, ia merasa telah memberikan segalanya untuk Dian dan Omar, tetapi kini ia diperlakukan seolah-olah semua usahanya tidak pernah berarti.
Tiga bulan setelah perceraian itu, Dirman mendengar kabar bahwa Dian menikah dengan Anton. Hati Dirman remuk. Ia baru menyadari bahwa selama ini Anton adalah pria yang selalu ada di balik konflik mereka. Semua mulai terasa masuk akal: perubahan sikap Dian, amarahnya yang tidak pernah berhenti, dan kebohongan kecil yang perlahan menjadi besar.
“Jadi, selama ini aku hanya jalan yang kau lalui untuk menemukan Anton,” gumam Dirman dengan suara bergetar.
Dalam keputusasaan dan patah hati, Dirman memutuskan menyerahkan usahanya kepada seorang teman yang memang sejak minggu lalu kehilangan pekerjaan dan sedang sangat membutuhkan pemasukan. Ia berpesan, “Kelak, ketika Omar dewasa, kembalikan usaha ini padanya. Aku ingin dia memiliki sesuatu yang bisa membantunya.” Sementara Dian tak ambil pusing akan hal itu.
Setelah itu, Dirman meninggalkan kota dengan hati yang penuh luka. Ia kembali ke Jawa, ke kampung halamannya, dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah kembali.
***
Dian Purnama adalah sosok yang penuh ambisi. Di balik senyum manis dan pembawaannya yang ramah, ia adalah seorang perempuan yang selalu tahu bagaimana mendapatkan apa yang diinginkannya, meski itu berarti harus mengorbankan orang lain. Dian menyadari bahwa Dirman adalah pria baik yang bekerja keras, tetapi baginya, kebaikan Dirman tidak cukup.
Diam-diam, Dian merasa kehidupan pernikahannya membosankan. Ia ingin lebih, ingin keluar dari lingkaran rutinitas dan menikmati gemerlap dunia yang lebih luas. Ketika ia bertemu Anton di bazar UMKM waktu itu, Dian merasa seperti menemukan pelarian yang sempurna. Anton, dengan karismanya yang memikat, menawarkan sesuatu yang selama ini tidak ia temukan di Dirman: petualangan dan kemewahan.
Namun, Dian tahu betul bahwa ia tidak bisa begitu saja meninggalkan Dirman. Ia harus merancang semuanya dengan cermat agar tampak seolah-olah Dirman adalah pihak yang bersalah. Dian mulai mempermainkan emosi suaminya, memanfaatkan kelembutan hati Dirman untuk menciptakan konflik yang berujung pada perceraian.
“Aku sudah capek hidup begini, Mas. Kamu terlalu fokus sama dirimu sendiri. Aku ingin kita maju, tapi kamu selalu menolak usulanku!” ujarnya dengan nada tinggi setiap kali mereka bertengkar.
Dian sengaja membuat Dirman merasa tidak cukup baik. Ia sering membandingkan suaminya dengan pria-pria lain, terutama Anton, meski tidak pernah menyebut namanya secara langsung. Ketika Dirman mulai mempertanyakan prioritas Dian yang lebih sering keluar rumah, ia menjawab dengan alasan yang membuatnya terlihat seperti korban.
“Aku melakukan ini semua untuk keluarga kita, Mas. Tapi kamu selalu meragukan aku. Apa kamu nggak percaya sama aku lagi?” kata Dian, menahan air mata yang sebenarnya palsu.
Kepiawaian Dian dalam bermain drama membuat Dirman merasa bersalah. Setiap kali Dian mengajukan gugatan cerai, ia menyertakan cerita-cerita yang menempatkan dirinya sebagai pihak yang tertekan, sementara Dirman digambarkan sebagai suami yang tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya.
Padahal, di balik semua itu, Dian telah menikmati malam-malam panjang bersama Anton di hotel-hotel berbintang. Ia menutupi pengkhianatannya dengan kebohongan yang disusun rapi, mengelabui Dirman hingga pria itu tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
***
Di sisi lain, keputusan Anton untuk menikah lagi membawa duka yang mendalam bagi keluarganya sendiri. Ketika Anton akhirnya berbicara dengan istrinya, ia tidak meminta izin atau restu. Ia hanya memberitahu, dengan nada dingin yang tidak menyisakan ruang untuk diskusi.
“Aku akan menikah lagi. Ini keputusan yang sudah aku pikirkan matang-matang,” ujar Anton dengan nada datar.
Istri pertamanya, seorang wanita sederhana yang setia mendampinginya sejak awal karier, hanya terdiam. Hatinya seperti tertusuk ribuan duri, tetapi ia menahan tangisnya. Ia tahu bahwa Anton tidak akan berubah pikiran.
“Kamu tidak perlu restu dariku, kan?” tanyanya lirih, mencoba menahan air mata.
Anton hanya menggeleng. “Ini bukan tentang restu. Ini tentang apa yang harus aku lakukan untuk masa depanku. Aku ingin punya anak kandung dari dia”
Malam itu, istri pertama Anton menangis sendirian di kamarnya. Tangisannya tidak meluap-luap, tetapi diam-diam menghancurkan hatinya. Ia merasa tidak berharga, seperti barang yang sudah tidak lagi dibutuhkan. Namun, demi anak laki-laki yang ia angkat sebagai anak sejak bayi merah itu, ia memutuskan untuk menelan rasa sakit itu.
“Untuk Dika, aku harus tetap kuat,” gumamnya sambil mengusap air mata yang terus mengalir.
Bagi Dika, keputusan ayahnya untuk menikahi Dian adalah pengkhianatan terbesar. Dika sudah lama mencurigai hubungan Anton dan Dian sejak pertama kali melihat mereka berbincang dengan penuh tawa di bazar UMKM yang mereka datangi. Meski ia tidak pernah memiliki bukti, instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak wajar.
Ketika Anton akhirnya membawa Dian ke rumah, memperkenalkan wanita itu sebagai calon istrinya, Dika hanya diam. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi matanya berbicara banyak. Ada kemarahan dan kekecewaan yang ia sembunyikan di balik sikap dinginnya.
“Ayah tahu apa yang Ayah lakukan?” tanya Dika, nadanya datar, tapi penuh tekanan.
“Ayah sudah memikirkan semuanya. Dian adalah wanita yang bisa membuat hidup kita lebih baik,” jawab Anton, seolah tidak peduli dengan perasaan putranya.
Dika hanya menatap ayahnya dengan mata yang penuh kebencian. Ia merasa Anton telah menghancurkan keluarganya demi wanita lain yang menurutnya licik dan penuh tipu daya. Namun, ia tidak menunjukkan emosinya. Ia menyimpan semua rasa sakit dan dendam itu dalam diam, menunggu saat yang tepat untuk melepaskannya.
Setiap kali melihat Dian, Dika merasa muak. Wanita itu, dengan senyum palsunya dan sikap ramahnya yang berlebihan, tidak akan pernah bisa menggantikan ibunya.
“Kalau ini yang Ayah mau, ya sudah. Tapi jangan harap aku akan menghormatinya,” gumam Dika pada dirinya sendiri.
Sejak hari itu, hubungan Dika dengan ayahnya berubah dingin. Ia menjaga jarak, hanya berbicara seperlunya, dan selalu menghindari Dian. Namun, dalam hatinya, ia menyimpan janji bahwa suatu hari ia akan membalas dendam pada wanita itu dan ayahnya yang telah menghancurkan keluarganya.
***
Setelah pernikahan Anton dan Dian, kehidupan keluarga baru itu tampak berjalan lancar. Dian, dengan kemampuannya beradaptasi, segera mengambil peran sebagai ibu sambung bagi Dika. Ia memperlakukannya dengan penuh perhatian, memastikan kebutuhan sekolah dan hobinya terpenuhi. Dian bahkan sering memasak makanan favorit Dika, berusaha menambatkan hatinya. Ia terlihat luluh.
"Dika, ibu masak ayam goreng kesukaanmu," ujar Dian suatu malam sambil tersenyum lembut.
Dika menatap Dian sejenak, lalu mengangguk. "Terima kasih, Bu," jawabnya dengan nada tulus.
Dika, yang biasanya pendiam, mulai membuka diri. Ia sering membantu Dian di dapur atau menemaninya berbincang di ruang tamu. Dari luar, ia tampak seperti anak yang menerima keadaan baru dengan sepenuh hati. Anton bahkan merasa lega melihat hubungan harmonis antara istri barunya dan putranya.
"Anakmu hebat, Mas. Dia dewasa sekali," kata Dian suatu malam pada Anton.
"Iya, aku juga bangga. Dika memang pengertian," jawab Anton dengan senyum puas.
Omar, yang masih kecil, ikut merasakan kebahagiaan di rumah itu. Baginya, Dika adalah sosok kakak yang penuh perhatian. Dika sering membantunya mengerjakan PR, mengajaknya bermain, dan menjaga Omar seperti adiknya sendiri. Dian merasa hidupnya sempurna dengan keluarga barunya ini.
Namun, ada sisi gelap yang tidak pernah terlihat oleh Anton maupun Dian. Di balik senyumnya yang tulus, Dika menyimpan sesuatu yang jauh lebih dalam.
Dika tidak pernah benar-benar melupakan luka yang ditinggalkan oleh pernikahan kedua ayahnya. Meski ia tampak damai, hatinya menyimpan dendam yang ia rencanakan dengan cermat bersama ibunya. Diam-diam, Dika tetap menjalin komunikasi dengan ibunya, yang tidak pernah sepenuhnya menerima keputusan Anton untuk menikahi Dian.
"Kamu harus sabar, Nak. Waktu kita akan tiba," kata ibu Dika suatu malam melalui telepon.
"Iya, Bu. Aku tahu. Dian pikir aku sudah menerimanya, tapi aku hanya menunggu saat yang tepat," jawab Dika dengan nada datar.
Ibu Dika, yang terluka hatinya karena pengkhianatan Anton, melihat peluang besar melalui Dika. Bersama-sama, mereka merancang strategi yang akan menghancurkan Anton dan Dian tanpa meninggalkan jejak.
"Kita tidak perlu tergesa-gesa. Biarkan mereka merasa nyaman dulu. Nanti, ketika mereka lengah, kita bertindak," ujar ibunya dengan nada dingin.
Dika mempelajari setiap gerak-gerik Dian. Ia tahu kapan Dian pergi, apa saja rutinitasnya, dan siapa saja orang-orang terdekatnya. Dalam diam, Dika mencatat semuanya, memastikan rencananya tidak akan gagal.
***
Meski tampak bahagia, sesekali Dian merasa ada yang ganjil dalam sikap Dika.
"Dika, kamu benar-benar nggak apa-apa, kan?" tanya Dian suatu malam ketika mereka sedang makan malam bersama.
Dika tersenyum kecil. "Tentu saja, Bu. Saya malah senang kita bisa hidup seperti ini. Ibu sudah banyak membantu saya dan Omar."
Jawaban itu membuat hati Dian lega, meski ada sedikit rasa tidak nyaman yang tidak bisa ia jelaskan. Namun, ia mengabaikannya, menganggap itu hanya perasaannya saja.
Anton, yang sepenuhnya percaya pada Dika, tidak pernah menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Baginya, Dika adalah anak yang sempurna, dan Dian adalah istri yang penuh kasih. Tanpa ia sadari Dika sedang berupaya dalam diam untuk membuat Anton meninggalkan Dian dan Kembali pada ibunya.
***
Pagi itu, matahari bersinar cerah, namun suasana hati Dika dan keluarganya jauh dari hangat. Dika meminta izin kepada Anton dan Dian untuk pulang ke rumah ibunya, Rita. Dengan senyum tipis yang tampak tulus, Dika berkata,
“Aku ingin menemui Ibu, sudah lama tidak pulang.”
Dian mengangguk setuju, sementara Anton hanya membalas dengan gumaman pendek,
“Baik, Ayah antar.”
Perjalanan menuju rumah Rita istri pertama Anton berlangsung dalam keheningan. Anton mengemudi dengan wajah yang sulit dibaca, sesekali melirik Dika di kursi penumpang. Di dalam hati, Anton tahu bahwa kunjungan ini tidak hanya tentang Dika yang rindu pada ibunya. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat hatinya terasa seperti diperas.
Rumah itu muncul di ujung jalan. Bangunan tua dengan cat dinding yang mulai pudar, namun tetap terlihat kokoh. Halaman luas di depannya dipenuhi pohon-pohon buah yang menjulang tinggi: mangga, manggis, dan rambutan. Dulu, rumah ini adalah tempat penuh tawa. Tempat Anton dan Rita membangun kehidupan bersama, tempat Dika tumbuh besar dengan penuh kasih. Tapi kini, rumah itu terasa sunyi, seperti menanggung beban kesedihan yang tak terlihat.
Saat mobil berhenti, Dika keluar lebih dulu, sementara Anton melangkah perlahan mengikuti. Di pintu depan, Rita telah menunggu, berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tak lagi secerah dulu, garis-garis halus di sekitar matanya tampak semakin dalam, bukti dari malam-malam panjang penuh air mata. Namun, ia tetap menyambut mereka dengan sopan, meski senyumnya terasa terpaksa.
Anton memberanikan diri untuk masuk ke dalam, mengabaikan beban emosional yang menggantung di udara. Ruang tamu itu masih sama seperti dulu—perabotan kayu yang kokoh, foto keluarga yang tergantung di dinding, dan karpet tebal tempat Dika sering bermain saat kecil. Semua tampak familiar, namun Anton merasa asing, seperti seorang tamu yang tak diundang di rumahnya sendiri.
Setelah beberapa saat berbasa-basi, Anton mengalihkan pandangannya ke Rita.
"Rita," katanya pelan, hampir berbisik. "Aku tidak bisa berlama-lama. Aku minta maaf."
Rita, yang tadinya sibuk dengan gelas teh di tangannya, mendongak. Matanya bertemu dengan mata Anton, penuh dengan kelelahan dan luka yang belum sembuh.
"Maaf?" ucapnya, suaranya lirih namun bergetar.
"Maaf untuk apa? Untuk meninggalkan rumah ini? Untuk meninggalkan aku? Untuk menikah lagi?"
Anton terdiam. Ia tahu pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban, hanya memerlukan kejujuran yang ia tak mampu berikan.
Rita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Kamu tahu, aku tidak pernah membenci kamu, Anton. Bahkan setelah semua yang kamu lakukan. Tapi aku tidak bisa menghilangkan rasa sakit ini. Aku mencoba, sungguh. Tapi melihat kamu sekarang, di rumah ini, hanya membuat semua kenangan kembali. Kamu sadar tidak Anton?"
Anton mengangguk pelan, wajahnya dipenuhi rasa bersalah. "Aku tahu aku salah, Rita. Aku tahu aku melukai kamu. Tapi…" Anton tak meneruskan kalimatnya. Ia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa.
Rita tersenyum pahit, air matanya mulai mengalir meski ia berusaha menahannya. Anton terdiam. Ia hanya menundukkan kepala
Rita mendekat, suaranya kini lebih lirih, hampir seperti bisikan. "Anton, aku tidak meminta kamu untuk kembali sekarang. Tapi aku akan menunggu. Aku yakin, suatu hari nanti kamu akan sadar... kamu akan kembali ke tempat di mana kamu seharusnya berada."
Anton merasa tiba-tiba dadanya sesak. Kata-kata itu seperti belati yang menancap dalam di hatinya. Ia tahu ia tak pantas mendengar janji seperti itu dari seorang wanita yang telah ia sakiti begitu dalam. Tapi ia tetap tak bisa mengucapkan apa-apa.
Di luar, Dika berdiri di halaman, pura-pura tak mendengar percakapan itu. Tapi hatinya penuh dengan dendam yang ia simpan rapat-rapat. Matanya memandang pohon mangga yang dulu sering ia panjat bersama ibunya, pohon yang kini seperti saksi bisu dari semua kehancuran keluarganya.
Anton akhirnya pamit, berdiri di depan pintu sambil mengucapkan salam perpisahan. Rita mengangguk, air matanya masih mengalir, tapi ia tetap menjaga wibawanya. "Hati-hati di jalan," katanya, meski suaranya bergetar.
Saat mobil Anton melaju menjauh, Rita berdiri di pintu, memandangi bayangan mobil itu hingga hilang di tikungan jalan. Ia tahu bahwa Anton mungkin tidak akan pernah kembali, tapi ia tetap memilih untuk percaya. Bagi Rita, harapan adalah satu-satunya yang tersisa.
***
Nunggu bagian ke 4 selesai ditulis :)
ReplyDelete