Malam Minggu kemarin, langkah kaki saya tertuju ke Teras Udayana—sebuah sudut kota yang malam itu bersalin rupa menjadi panggung nostalgia dan perayaan budaya. Di bawah langit Mataram yang syahdu, Mataram Culture Festival 2025 membuka tirainya. Bukan sekadar perhelatan seni, melainkan ruang temu rasa dan lintas ingatan—antara masa kecil, kerinduan, dan identitas kota yang terus tumbuh.
Ada yang berbeda malam itu. Bukan hanya karena suara musik tradisional berpadu harmoni dengan tawa anak-anak, bukan pula karena denting gamelan yang mengalun seperti doa, melainkan karena hati saya disentuh oleh sesuatu yang lebih dalam: kerinduan akan Mataram yang dulu ketika pertama kali menginjakan kaki di kota ini—dan rasa syukur akan Mataram yang sekarang.
Layar tancap menari di tengah kerumunan, menyala seperti mesin waktu. Membawa saya kembali ke masa saat bermain tak butuh sinyal, dimana dunia kami hanya berisi bermain, bermain dan belajar dengan menyenangkan. Hingga Saat nasi balap dari pedagang sepeda ontel menjadi penolong perut anak kos ketika mulai menjejakan kaki di Kota Ini sebagai Mahasiswa. Teater kolosal pun menggambarkan wajah Mataram tempo dulu, di mana anak-anak bebas berlarian, dan dunia belum dijejali notifikasi.
Tak terasa, ada yang berdesir di dada. Antara tawa dan air mata kecil yang nyaris jatuh karena rindu masa lalu. Malam itu, saya merasa pulang—meski saya tak pernah benar-benar pergi.
Terima kasih saya haturkan, dengan penuh ketulusan dan kagum, kepada para penggagas yang berpikir jauh melampaui zaman, kepada panitia yang bekerja senyap namun penuh cinta, kepada para seniman dan pelajar yang menghadirkan karya dari jiwa, dan kepada Dinas Pariwisata Kota Mataram yang telah membuka jalan bagi budaya untuk kembali berbicara—dengan bahasa yang indah dan membumi.
Festival ini bukan hanya tentang pertunjukan.
Ini tentang rasa. Tentang siapa kita. Tentang kota ini yang terus maju bertumbuh, namun tak pernah kehilangan cahaya budayanya. Semoga ini bukan akhir. Semoga Mataram Culture Festival terus hadir, sebagai ruang pulang, ruang tumbuh, dan ruang bangga—bagi setiap anak-anak kota ini, yang suatu hari nanti akan bercerita, bahwa mereka pernah punya kota yang tahu caranya merayakan keberagaman dengan lembut, tulus, dan penuh cahaya.
---
Untuk Mataram, kota kecil yang menyimpan berjuta kisah dalam detak yang pelan, terima kasih telah mengajarkan kami bahwa budaya bukan untuk dilupakan— tapi untuk terus dihidupkan.
Comments
Post a Comment