Merince Kogoya dan Luka Kemanusiaan yang Tak Bisa Dibungkam

Beberapa hari terakhir, jagat media sosial Indonesia dihebohkan oleh kasus Merince Kogoya, finalis Miss Indonesia 2025 yang dicoret dari ajang tersebut karena unggahan dukungannya terhadap Israel. Reaksi publik pun memuncak — ada yang marah, ada yang bingung, dan tidak sedikit yang malah membelanya.

Namun di balik segala hiruk-pikuk ini, saya merasa ada pertanyaan yang lebih mendasar, lebih penting, dan lebih menyayat nurani: Ke mana sebenarnya arah empati kita?

Merince dengan bangga mengibarkan bendera israhell (kenapa gak bendera indonesia aja??)

Dukungan Bukan Sekadar Pilihan Politik

Sebagian orang mungkin berkata, “Itu hanya pendapat pribadi.” Tapi bagaimana jika “pendapat pribadi” itu melegitimasi penderitaan manusia? Bagaimana jika pernyataan yang tampak sederhana itu dilakukan oleh seseorang yang sedang membawa nama provinsi, nama perempuan Papua, dan bahkan wajah Indonesia di panggung nasional?

Ini bukan sekadar soal politik luar negeri. Ini soal sikap terhadap kemanusiaan. Kita tidak sedang bicara tentang siapa benar dan siapa salah dalam sejarah panjang konflik Israel–Palestina. Kita sedang bicara tentang ribuan anak-anak yang terbunuh, ibu-ibu yang kehilangan keluarga, dan generasi yang tumbuh dalam trauma tanpa keadilan.

Apakah ini pantas kita abaikan hanya karena seseorang merasa “punya hak menyatakan dukungan” secara bebas?

Bukan Konflik Agama, Tapi Luka Kemanusiaan

Yang menyedihkan adalah munculnya narasi bahwa orang yang membela Palestina berarti membela Islam, dan karena itu, jika tidak suka Islam, maka membela Israel adalah sah-sah saja.

Pikiran semacam ini bukan hanya keliru, tapi berbahaya. Karena faktanya, korban kekerasan dan penjajahan di Palestina bukan hanya Muslim. Banyak orang Kristen Palestina yang hidup dalam ketakutan dan keterasingan. Banyak warga sipil lintas agama menjadi korban. Bahkan banyak Yahudi anti-zionis di seluruh dunia menolak penjajahan Israel atas tanah Palestina.

Jadi jika seseorang mendukung Israel hanya karena ingin melawan Islam, maka jelas bahwa yang sedang dimainkan bukanlah logika, tapi kebencian. Dan kebencian, sekecil apa pun, adalah bahan bakar yang mematikan bagi perdamaian.

Panggung Publik dan Tanggung Jawab Moral

Merince Kogoya bukan orang biasa. Ia sedang menapaki panggung nasional, membawa simbol kebanggaan daerah dan budaya. Setiap gerak-geriknya adalah pesan. Setiap pernyataannya adalah representasi. Maka ketika ia dengan sadar memilih berdiri bersama rezim yang dikenal dunia karena agresinya terhadap rakyat sipil, ia bukan hanya sedang menyatakan pendapat—ia sedang mencederai hati banyak orang yang sedang berjuang untuk hak hidup. Seorang publik figur, apalagi dalam kontes kecantikan nasional, punya tanggung jawab moral. Tanggung jawab untuk berbicara tentang keadilan, tentang kemanusiaan, tentang nilai-nilai luhur bangsa. Jika yang keluar justru dukungan terhadap kekerasan dan penjajahan, maka wajar jika publik bereaksi.

Saya tidak tahu apa yang ada di benak Merince ketika ia membuat unggahan itu. Tapi saya tahu satu hal: Jika kita tidak bisa menangis saat melihat bayi-bayi Palestina bersimbah darah, maka ada yang salah dengan empati kita. 

Dunia boleh terbagi dua. Media boleh berpihak. Sejarah bisa dipelintir. Tapi mata dan hati yang jernih tidak pernah bohong. Ketika kita melihat penderitaan manusia, tak peduli agamanya, tak peduli warna kulitnya, tak peduli benderanya — hati nurani kita seharusnya bersuara.

Kasus Merince bukan akhir dari dunia. Tapi seharusnya menjadi pengingat keras bahwa panggung publik bukan tempat untuk merayakan ideologi yang mengabaikan nyawa manusia. Dan bahwa di atas semua itu, kemanusiaan harus selalu jadi kompas kita — bukan kebencian, bukan kepentingan politik, dan bukan ego pribadi.

Lalu saya greget banget ketika melihat di akun instagramnya banyak sekali pembenaran-pembenaran atas sikap Merince ini. Salah satunya ada yang bertanya dan berpendapat :

"Kalau mayoritas boleh menyatakan dukungan pada Palestina dan Iran kenapa minoritas tidak boleh membela Israel?"

Baca ini baik-baik ya kalian...

1. Ini Bukan Sekadar Soal Mayoritas vs Minoritas, Tapi Soal Posisi Moral dan Fakta Lapangan

Dukungan terhadap Palestina bukan semata-mata karena “mayoritas” di Indonesia beragama Islam. Tapi karena Palestina adalah pihak yang selama puluhan tahun dijajah, diblokade, diserang, dan diusir dari tanahnya sendiri. Sementara Israel adalah pihak dengan: kekuatan militer tak seimbang, dukungan penuh negara-negara adidaya, dan rekam jejak pelanggaran HAM yang sudah didokumentasikan oleh banyak lembaga independen (termasuk PBB dan Human Rights Watch).

Jadi bukan soal mayoritas boleh ini dan minoritas tidak boleh itu. Tapi siapa yang menindas dan siapa yang ditindas.

2. Minoritas pun Boleh Bersuara — Asal Tidak Membela Kejahatan Kemanusiaan

Tidak ada yang melarang minoritas menyatakan pendapat. Tapi kebebasan berpendapat bukan berarti bebas membela penjajahan, apartheid, atau pembunuhan terhadap anak-anak dan warga sipil. Jika seseorang — siapa pun, mayoritas atau minoritas — terang-terangan mendukung negara yang sedang membombardir sekolah, rumah sakit, kamp pengungsian… maka masalahnya bukan pada identitasnya, tapi pada substansi dukungannya.

3. Banyak Minoritas di Indonesia Justru Mendukung Palestina

Argumen bahwa “minoritas tidak boleh mendukung Israel” juga gagal membaca kenyataan. Banyak pemuka agama Kristen, Katolik, bahkan Yahudi anti-zionis, berdiri membela Palestina, karena mereka melihatnya sebagai isu kemanusiaan, bukan agama. Jadi tidak adil jika dukungan kepada Palestina dianggap sebagai “ekspresi mayoritas”, sedangkan pembelaan terhadap Israel dibungkus dengan narasi “minoritas ditekan”. 

***
Silakan berpendapat, tapi jangan bungkus dukungan terhadap penjajahan dengan tameng kebebasan berekspresi. Silakan jadi minoritas yang vokal, tapi jangan jadikan identitasmu pembenaran untuk menutup mata atas kejahatan kemanusiaan. Dan yang paling penting: jangan memutarbalikkan fakta moral jadi isu populisme. Karena dalam urusan kemanusiaan, bukan soal berapa banyak yang mendukung, tapi siapa yang benar-benar berpihak pada yang tertindas.


Comments