Di era digital yang serba cepat ini, kita menyaksikan sebuah ironi besar: semakin kosong isi seseorang, justru semakin riuh sorot kamera mengarah padanya. Kata-kata yang meluncur dari tokoh-tokoh populer, entah pejabat, selebritas, atau influencer, sering kali lebih didengar ketimbang suara rakyat jelata atau para cendekiawan yang berbicara dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Fenomena ini sangat kentara, terutama dalam dunia politik dan media. Banyak pejabat hari ini terlihat lebih mementingkan popularitas ketimbang kualitas. Asal bunyi, asal viral, asal trending. Tak jarang, komentar-komentar mereka justru menimbulkan kegaduhan, menyakiti publik, bahkan menyesatkan pemahaman.
Padahal, ucapan seorang pemimpin seharusnya menyejukkan, membimbing, dan memberi arah. Tapi kini, kita kerap mendengar statement tanpa dasar, opini tanpa data, dan janji tanpa rencana. Mereka bicara seolah tahu segalanya, padahal sekadar mengulang tren, atau lebih buruk lagi, menutupi ketidaktahuan dengan kepercayaan diri palsu.
Sementara itu, suara para pemikir dan rakyat biasa kerap tersisih. Mereka yang berbicara dengan logika dan empati, justru dianggap kurang menarik karena tidak viral. Mereka yang mengingatkan dengan tenang dan runut, dikalahkan oleh mereka yang berteriak keras dan penuh drama.
Mengapa ini bisa terjadi?
Karena kita sebagai masyarakat sudah terlalu lama mendewakan yang populer, bukan yang berpikir. Kita lebih cepat menekan tombol share daripada merenung. Kita lebih mudah tertarik pada kemasan, bukan isi. Akibatnya, ruang publik kita semakin bising namun miskin makna.
Tapi haruskah kita menyerah pada keadaan ini?
Tentu tidak.
Saatnya Kita Menyaring, Bukan Menelan Mentah-Mentah
Kita perlu membiasakan diri untuk mendengar dengan hati-hati. Tidak semua yang terkenal layak diikuti. Tidak semua yang viral membawa manfaat.
Kita harus lebih berani mendukung suara-suara yang jernih. Para guru, peneliti, rakyat kecil yang paham akar masalah, bahkan tetangga yang bijak—mereka lebih pantas didengar daripada mereka yang sekadar tampil tapi kosong.
Dan kita juga harus belajar menahan diri dari ikut menggandrungi tokoh tanpa isi. Biarkan popularitas tumbuh dari kualitas, bukan sekadar sensasi.
Popularitas tanpa isi adalah ancaman bagi masa depan. Jika terus kita pelihara, maka kebodohan akan menjadi budaya, dan kebijakan akan tersingkir dari panggung. Akan datang masa ketika yang tulus dianggap remeh, yang pandai dibungkam, dan yang kosong justru dijadikan simbol harapan. Maka mari kita ubah arah ini. Mulailah dari lingkaran terkecil—diri sendiri, keluarga, komunitas. Dukung suara yang bermanfaat. Puji yang layak dipuji. Kritik yang perlu dikritik. Dan jangan ikut ramai hanya karena takut ketinggalan tren. Karena ketika bangsa ini lebih memilih mendengar yang bermakna, bukan yang berisik, di sanalah harapan untuk masa depan yang lebih waras masih menyala.
Comments
Post a Comment