Dea Lipa, MUA Lombok Yang Ternyata Laki-Laki : Saat Kita Menghukum Luka yang Kita Ciptakan!


Teman-teman, izinkan saya menulis sesuatu yang mungkin agak berat, tapi perlu kita bicarakan.

Nama Dea, atau Deni, seorang make up artist (MUA) asal Lombok, mendadak memenuhi percakapan publik setelah kemunculannya di media sosial. Penampilannya yang menyerupai perempuan mengundang banjir komentar, sebagian besar bernada penghinaan. Ungkapan seperti “merusak moral”, “aib masyarakat”, hingga “contoh kegagalan keluarga” berulang kali muncul.
Namun, dari ribuan komentar tersebut, hampir tak terdengar satu pertanyaan mendasar: Bagaimana seorang anak tumbuh hingga menjadi dirinya yang sekarang? Siapa yang absen di masa terpenting hidupnya?
Fenomena Dea mungkin tampak seperti kasus personal, tetapi di baliknya terdapat kisah yang jauh lebih besar : sebuah kegagalan sosial yang berlangsung dalam diam.
Informasi yang dikonfirmasi dari lingkungan terdekatnya menunjukkan bahwa Dea adalah anak dari Pekerja Migran Indonesia (PMI). Kedua orang tuanya bekerja di luar negeri. Ia dibesarkan oleh neneknya yang renta, hidup dalam keterbatasan ekonomi, dan yang penting dicatat: Dea adalah anak dengan disabilitas pendengaran. Kondisi ini menjadikannya masuk dalam tiga lapisan kerentanan sekaligus: Anak PMI yang kehilangan pengasuhan langsung, Hidup dalam kemiskinan yang berdampak pada akses Pendidikan dan Kesehatan dan disabilitas pendengaran yang berdampak pada terhambatnya komunikasi yang menjadi potensi bullying.
Menurut data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), terdapat lebih dari 1,5 juta anak PMI yang tumbuh tanpa kehadiran orang tua secara langsung. Banyak dari mereka tinggal bersama kakek-nenek tanpa kapasitas pendampingan psikologis yang memadai.
Jadi, Deni ini bukan anomali. Ia adalah wajah dari statistik yang tak pernah benar-benar kita hadapi.
Menurut komentar - komentar warga setempat di banyak sosial media, menyebutkan bahwa sejak kecil Dea sering menjadi objek ejekan karena pendengarannya dan ekspresi gendernya.
Dalam banyak kasus, anak-anak dengan disabilitas atau ekspresi gender berbeda berada dalam risiko perundungan yang tinggi.
Nih saya kasi data dari penelitian UNICEF Indonesia tahun terakhir tentang kekerasan anak menunjukkan: 60% anak disabilitas melaporkan mengalami bullying atau perlakuan diskriminatif. Mayoritas kekerasan terjadi di komunitas terdekat—tetangga, sekolah, dan lingkungan bermain.
Dea tumbuh dalam lingkungan yang tidak memiliki sistem pendukung sosial. Tidak ada konseling, tidak ada perlindungan berbasis komunitas, tidak ada intervensi dari lembaga sosial atau keagamaan.
Sumber lapangan menyebutkan:
“Dia sering dipanggil dengan sebutan yang merendahkan. Tapi tidak ada yang benar-benar menegur para pelaku.”
Kasus Dea memicu reaksi berlapis: kecaman moral, seruan “penertiban”, hingga ajakan menghentikan akses publik bagi Dea. Namun terdapat ironi mendalam: di Lombok, seperti di berbagai wilayah Indonesia, publik lebih sering menertibkan ekspresi yang berbeda, ketimbang menertibkan: korupsi bantuan sosial, kekerasan rumah tangga, eksploitasi anak, atau yang lebih besar misal perdagangan tenaga kerja ilegal.
Para tokoh masyarakat cepat bereaksi terhadap “penyimpangan” Deni atau Dea ini, tetapi tidak terhadap akar sosial yang membentuknya. Seorang peneliti sosial budaya Universitas Mataram pernah bilang “Kita terlalu cepat menghukum ekspresi, tetapi terlalu lambat menyembuhkan penyebab.”
Fenomena Dea menunjukkan bahwa kita bukan hanya menghadapi persoalan identitas, tetapi krisis lebih besar: 1) Migrasi yang memisahkan keluarga, 2) Kemiskinan yang menelan pengasuhan, 3) Disabilitas tanpa dukungan aksesibilitas, 4) Komunitas yang tidak lagi berfungsi sebagai pelindung
Jadi sudah sudah jelas jawaban dari pertanyaan “mengapa Deni atau Dea seperti itu?”
Maka pertanyaan yang harus kita jawab bersama-sama sekarang Adalah Bagaimana anak ini bertahan sejauh ini tanpa kehadiran kita?

Apa yang Tidak Boleh Kita Lupakan?

Pertama, anak ini bukan penjahat. Ia bekerja, berkarya, dan bertahan hidup. Kedua Ia tidak pernah meminta menjadi bahan tontonan nasional. Ketiga, Ia lahir dari kondisi sosial yang kita biarkan selama puluhan tahun. Keempat, Setiap ejekan yang diterimanya adalah bukti kegagalan kita.

Fenomena ini (harusnya) membuka ruang rekomendasi kebijakan. Misalnya Untuk Pemerintah Daerah agar segera membuat dan perkuat Sistem pemetaan dan pendampingan anak PMI mengingat NTB ini buanyak banget PMI nya yang terpaksa melakoni itu karena tuntutan ekonomi dan pendidikan anak, Kemudian Sediakan layanan konseling dan dukungan - dukungan psikologis berbasis desa/kelurahan dan genrcarkan pelatihan ekonomi kreatif bagi disabilitas.

Kemudian Untuk Tokoh Agama & Adat, mungkin sekarang Narasi dakwahnya bisa di ubah menjadi yang melindungi anak-anak dari perundungan bukan menghakimi hal-hal yang sebenarnya terjadi karena kealfaan bersama, kemudian bisa juga dengan restorasi fungsi sosial masjid, musholla, dan lembaga adat.

Lalu yang paling penting dan utama, untuk kita semua sebagai Masyarakat, mari sama-sama kita menghentikan kekerasan digital dan verbal dalam kehidupan sehari-hari karena efeknya sangat-sangat panjang bahkan seumur hidup. Sudah banyak cerita tentang orang yang hidupnya berantakan ketika usia dewasa karena trauma masa kecil akibat kekerasan verbal, digital dan perundungan yang dianggap cuma bercanda. Banyak cerita orang yang tiba-tiba menyerang orang lain secara tiba-tiba setelah ditelusuri ternyata penyebabnya Adalah dendam sejak masa kecil karena pernah dibully atau disakiti secara verbal.

Kemudian kita juga bisa mulai untuk membudayakan melihat akar masalah, bukan hanya gejalanya. Karena akarnya ya dari orang-orang sekitar si anak. Dia lahir suci, lalu orang-orang di sekitarnya lah yang membentuknya, lantas orang-orang sekitarnya pula yang menudingnya untuk berubah, untuk dihukum, dikucilkan dan sebagainya. Mari sadari ini.
***
Sebenarnya, setiap kali kita menyebut nama Dea atau Deni ini sambil mengejek, sebenarnya kita sedang menyebut nama kita sendiri: nama tetangga yang tidak peduli, nama lembaga sosial yang tidak hadir, nama negara yang tidak menjamin pengasuhan warganya.

Fenomena ini bukan skandal pribadi. Ini adalah laporan publik tentang dosa berjamaah akibat kelalaian sosial. Dea bukan sekadar viral. Ia adalah peringatan bahwa ada generasi yang tumbuh tanpa pelindung—dan mereka menanggung akibat yang bukan mereka ciptakan.

Penyimpangan Deni ini memang salah, tapi tidak kemudian kita pantas mnenghakimi dan menyulitkan hidupnya dengan tuntutan-tuntutan kejam. PIhak keluarga, Masyarakat dan pihak terkait semoga segera “merangkul” Kembali anak ini agar diterima dengan welas asih, dibimbing untuk Kembali pada fitrahnya. Itu jauh lebih baik daripada kita terus menghancurkan mental anak yang memang sudah hancur sejak kecil.

Btw, dulu aku punya teman kecil di kampung. Dia dan saya kerap menjadi bahan bully di sekolah, ditempat ngaji dan lainnya. Ketika dewasa dan berdaya ia meninggalkan kampung halaman yang tak pernah ramah padanya, bukan cuma itu ia juga berpindah keyakinan karena di keyakinan baru ia merasa diterima dengan baik. Lalu Masyarakat Kembali menghujat, menyayangkan dan kecewa tanpa mereka sadar bahwa itu adalah ulah mereka juga di masa lalu. Bukankah dosa membuat orang lain murtad?

Istigfar!

Comments