Cerita Bersambung : Ibu Pulang (Bagian 4)


Sore itu, suasana rumah Anton dan Dian tampak begitu harmonis. Dika kembali dari rumah ibunya dengan membawa senyum lebar. Ia menyapa ayahnya, Anton, yang tengah memandikan mobil di halaman, dan Dian yang sibuk di dapur. Omar, adik tirinya yang baru berusia delapan tahun, tampak kesulitan mengangkat jemuran di halaman tengah. Dika dengan santai melangkah menuju kamar mandi, senyumnya tetap terpahat di wajahnya ketika menoleh ke arah Dian ibu tirinya.

Di kamar mandi, Dika mengeluarkan benda yang disembunyikannya dalam tas kecil. Sebuah benda seperti bantal kecil dengan kain putih yang terikat rapi dengan tali dari kain putih pula. Pandangannya tajam, penuh konsentrasi. Ia menyelipkan benda itu di atas kusen kamar mandi, memastikan posisinya tak terlihat dari arah mana pun. Setelah itu, ia keluar dengan tenang seolah tak ada yang terjadi.

Dika mendekati Omar, lalu membantunya menurunkan jemuran yang terlalu tinggi. Omar bersorak gembira. "Terima kasih, Kak Dika! Aku nggak bisa kalau nggak dibantu," ucapnya polos.

Dika mengacak rambut adik tirinya sambil tersenyum. "Santai aja, Kak Dika kan selalu ada buat kamu."

Melihat mereka bercanda dan tertawa, Dian dan Anton saling bertukar pandang dari dapur. Senyuman kecil muncul di wajah mereka, seolah menyiratkan kebahagiaan yang mereka rasa saat itu.

***

Setelah magrib, Anton mengajak Omar dan Dika ke masjid untuk salat berjamaah. Dian, seperti biasa, menyiapkan makan malam di rumah. Hidup terasa damai malam itu, penuh kehangatan keluarga. Namun, hanya Dika yang tahu, di dalam hatinya ada badai yang mengguncang.

Selepas salat isya, Dian membantu Omar menyiapkan pakaian untuk sekolah. Ia juga mengingatkan Dika agar bersiap untuk esok hari dan tidak begadang. 

"Jangan sampai besok telat lagi, Mas. Ayahmu pasti marah kalau sampai begitu," ujar Dian sambil melipat pakaian.

Dika hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. 

"Iya, Bu."

Beberapa menit kemudian, Anton yang terlihat santai tiba-tiba memeluk pinggang Dian dari belakang saat ia mencuci piring. 

"Kamu capek, ya?" bisiknya lembut. Dian hanya tersenyum sambil menggeleng. Anton melepaskan pelukannya dan berjalan menuju kamar mandi.

Namun, sesuatu terasa aneh malam itu. Anton terlalu lama di kamar mandi, tidak seperti biasanya. Dian mengetuk pintu dengan lembut. 

"Mas, lama sekali. Nggak apa-apa, kan?"

Anton menjawab datar, "Iya, nggak apa-apa." 

Setelah beberapa saat, ia keluar dari kamar mandi dengan wajah datar tanpa ekspresi dan langsung berjalan ke kamar. Dian memanggilnya, tetapi Anton tidak menoleh, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya padahal sebelum itu Anton terlihat baik-baik saja seperti biasanya.

Esok paginya, Dian terbangun agak telat dari biasanya. Ia mendapati Anton sudah rapi dengan setelan kerjanya, bahkan sebelum matahari benar-benar terbit. Dika juga terlihat sudah siap dengan tasnya yang penuh. Omar masih terlelap, dan Dian masih merasa ada yang aneh.

"Kok pagi-pagi sudah siap, Mas? Biasanya kamu kan sarapan dulu," tanya Dian sambil mengerutkan kening.

Anton hanya tersenyum tipis. "Biar Dika nggak terlambat. Katanya hari ini dia disuruh hadir lebih awal"

Dian melirik ke arah Dika dan disambut senyuman sembari sedikit menundukan kepala oleh Dika. 

Dian masih mencoba memaklumi. Tepat pukul 6.30, mereka berangkat. Anton mengantar Omar lebih dulu ke sekolah yang kaget karena dibangunkan dan berangkat terlalu pagi baginya.  Omar yang duduk di kursi belakang Bersama Dika tak menyadari ada ketegangan aneh di dalam mobil. Setelah mengantar Omar,  Anton terus melaju membawa Dika.

***

Hari semakin siang, tetapi Anton dan Dika tak juga muncul. Omar, yang menunggu dijemput di sekolah, akhirnya memutuskan berjalan kaki pulang. Jaraknya memang tak terlalu jauh, tetapi cukup melelahkan untuk anak sekecil dirinya.

Dian terkejut ketika melihat Omar masuk rumah dengan wajah kelelahan. 

"Lho, kok kamu jalan kaki? Ayah mana? Kenapa nggak dijemput?"

Omar hanya menggeleng. 

"Ayah nggak jemput."

Dian mulai merasa ada yang tidak beres. Ia mencoba menghubungi Anton, tetapi ponselnya tidak aktif. 

Dian merasa ada yang mencengkeram hatinya. Ia mencoba berpikir positif, tetapi kegelisahannya semakin besar. Ia menghubungi kerabat dan teman Anton, tetapi tidak ada yang tahu keberadaannya. Waktu berlalu, malam tiba, tetapi Anton dan Dika tetap tidak ada kabarnya.

Dian masih mondar-mandir di ruang tamu. Ponsel di tangannya berkali-kali ia cek, berharap ada kabar dari suami atau anak tirinya. Omar duduk di sofa, matanya mulai berkaca-kaca. 

"Ibu, Ayah sama Kak Dika kenapa lama banget? Mereka nggak apa-apa, kan?"

Dian berusaha menenangkan Omar, meski dirinya sendiri hampir kehilangan kendali. 

"Iya, sayang, nggak apa-apa. Mungkin mereka ada urusan dulu yang harus diselesaikan baru pulang ke rumah."

Namun, hatinya terasa sesak. Malam itu, rumah yang biasanya penuh tawa menjadi sunyi, hanya diisi oleh perasaan takut dan gelisah yang menggantung di udara. Dian duduk di sofa, menatap kosong ke arah pintu, berharap kapan saja Anton dan Dika akan masuk dengan senyuman seperti biasa.

Namun, harapan itu sepertinya terlalu jauh.

Malam semakin larut, tetapi tak ada tanda-tanda Anton dan Dika kembali. Jam di dinding ruang tamu berdetak pelan, setiap detiknya seperti palu yang menghantam pikiran Dian. Ia Kembali mondar-mandir di ruang tamu, sesekali berhenti untuk menatap layar ponselnya yang tak kunjung berdering. Nomor Anton masih tidak aktif, dan pesan-pesan yang ia kirim ke Dika pun hanya bertanda centang satu.

Omar duduk di sofa dengan mata yang sudah mulai mengantuk, tetapi ia enggan tidur. 

"Bu, Ayah sama Kak Dika kok belum pulang? Mereka pergi jauh ya?" tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

Dian mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku. 

"Mungkin mereka lagi ada urusan, sayang. Ayah pasti nggak lupa sama kita. Kak Dika juga," jawabnya sambil mengusap rambut Omar.

Omar mengangguk kecil, tetapi wajahnya tampak murung. Ia merapatkan selimut kecil yang melingkari tubuhnya. 

"Tapi kenapa Ayah nggak bilang-bilang dulu? Biasanya Ayah selalu pamit kalau mau pergi lama."

Dian tidak punya jawaban untuk itu. Ia hanya diam, menahan tangis yang mulai memenuhi dadanya. Setelah beberapa saat, Omar akhirnya tertidur di sofa. Dian menarik selimut untuk menutupi tubuh kecilnya, lalu duduk kembali di kursi berseberangan. Kali ini ia tak mampu menahan air matanya yang sedari tadi ingin keluar. Perasaannya bercampur aduk. Ia sadar yang ia miliki sebenarnya bukan miliknya seutuhnya...

***

Dian mencoba mengingat kembali pagi tadi. Tidak ada tanda-tanda aneh dari Anton atau Dika selain keanehan kecil yang ia rasakan. Tapi apa itu? Ia memijit pelipisnya, mencoba mencari jawaban dari potongan-potongan memori yang berserakan di kepalanya. Ingatannya kembali ke pagi hari ketika Anton tersenyum tipis sambil berkata, "Biar Dika nggak terlambat." Kata-kata itu terasa hampa, seperti diselimuti sesuatu yang ia tak bisa pahami.

Ia melirik ke arah meja makan. Makanan malam yang ia siapkan tadi masih utuh, dingin, dan terasa seperti ejekan. Piring-piring yang seharusnya penuh dengan keceriaan keluarga kini menjadi simbol kehampaan. Dian menghela napas panjang. Ia merasakan kegelisahan yang tidak biasa, seperti ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak tahu apa.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Angin malam bertiup pelan, menggerakkan tirai di jendela ruang tamu. Dian berdiri, melangkah ke arah jendela, dan membuka sedikit tirainya. Jalanan sepi, hanya ditemani lampu jalan yang redup. Tidak ada suara mobil mendekat, tidak ada tanda-tanda Anton atau Dika akan pulang.

Dian kembali ke sofa dan menatap Omar yang tertidur lelap. Anak itu tampak damai, tidak menyadari badai kecemasan yang melanda ibunya. Dalam hati, Dian merasa bersalah. Ia ingin menguatkan Omar, tetapi bagaimana caranya jika ia sendiri hampir runtuh?

Ia mencoba menelepon Anton lagi, tetapi ponselnya masih tidak aktif. Dian menggigit bibir bawahnya, lalu membuka kontak teman-teman Anton. Satu per satu, ia mencoba menghubungi mereka.

"Mas Bayu, ini saya Dian. Maaf mengganggu, tapi saya mau tanya, Mas Anton ada kabar nggak? Dia nggak pulang dari pagi tadi."

"Enggak, Mbak Dian. Saya nggak dengar apa-apa dari Anton. Tadi saya coba hubungi juga buat urusan kerja, tapi nomornya nggak aktif."

Setelah itu, Dian menelepon beberapa orang lain, tetapi jawabannya sama saja. Tak ada yang tahu keberadaan Anton. Ponsel Dika juga tidak aktif, menambah beban di dada Dian. Ia meletakkan ponselnya di meja, menutupi wajah dengan kedua tangan, dan menarik napas panjang.

Di luar, angin semakin kencang. Suaranya berdesir melewati celah-celah pintu dan jendela, membuat suasana rumah semakin kelam. Lampu di ruang tamu sedikit berpendar, hampir mati, sebelum kembali menyala. Dian menatap ke arah lampu itu dengan jantung yang berdebar kencang.

Perasaan tidak enak semakin melingkupi dirinya. Sebuah pikiran gelap muncul di kepalanya: Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka?

Ia segera menghapus pikiran itu, tetapi bayangan-bayangan buruk terus menghantuinya. Ia mencoba menguatkan diri, meyakinkan hatinya bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi di dalam hatinya, ia tahu sesuatu yang besar sedang terjadi, dan ia sama sekali tidak siap untuk menghadapinya.

Dian berjalan menuju kamar tidur, mencoba mencari ketenangan. Tetapi tempat tidur itu terasa dingin tanpa Anton di sampingnya. Ia duduk di sisi tempat tidur, menggenggam bantal Anton erat-erat, mencoba mencari jejak kehangatan yang masih tersisa. Air matanya mulai mengalir, meski ia berusaha menahannya.

"Tuhan, tolong jaga mereka," bisiknya lirih.

Namun, di dalam hatinya, Dian tahu doa itu lebih dari sekadar permohonan. Itu adalah jeritan putus asa dari seorang istri yang tidak tahu harus berbuat apa. 

***

Dian terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya bengkak, wajahnya kusut karena kurang tidur. Di sampingnya, Omar yang semalam pindah tidur ke kamarnya masih terlelap, memeluk guling kecil kesayangannya. Dengan hati yang berat, Dian bangkit dari tempat tidur dan segera menuju dapur untuk membuat kopi. Ia berharap secangkir kopi bisa sedikit menenangkan pikirannya yang kusut.

Namun, rasa gelisah tetap menghantui. Anton dan Dika masih belum memberi kabar. Dian merasa seperti kapal tanpa nakhoda di tengah badai. Setelah memastikan Omar masih tidur, ia mengambil ponselnya dan kembali mencoba menghubungi Anton dan Dika. Seperti sebelumnya, nomor mereka tetap tidak aktif.

Dian duduk di meja makan, menatap layar ponsel dengan hampa. Aku harus mencari tahu di mana mereka, pikirnya. Tapi ke mana? Anton jarang berbagi tentang kehidupan pribadinya dengan Dian. Teman-temannya? Keluarga Anton? Dian bahkan tidak tahu siapa yang harus ia hubungi karena hubungan mereka telah membuatnya terasing dari banyak orang.

Dian memutuskan untuk mencari tahu dari beberapa teman Anton yang ia kenal. Ia mulai dengan membuka grup WhatsApp komunitas bisnis lokal, tempat Anton sering aktif sebelum menikah dengannya. Namun, rasa malu mulai menyerang ketika ia menulis pesan.

“Selamat pagi, apakah ada yang tahu kabar Mas Anton? Beliau belum pulang sejak kemarin.”

Pesan itu terasa seperti tamparan di wajahnya. Seketika dia merasa bodoh telah menulis pesan itu. Dian tahu sebagian besar orang di grup itu tidak menyukai dirinya, apalagi setelah pernikahannya dengan Anton yang penuh kontroversi. Ia menunggu dengan cemas, namun tidak ada satu pun yang membalas.

Setelah beberapa menit, seorang anggota grup membalas dengan dingin:

“Coba tanyakan ke istri pertamanya, Bu Dian. Mungkin Mas Anton kembali ke sana.”

Dian merasakan wajahnya memerah. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pesan itu seperti duri yang menusuk harga dirinya. Lalu dengan cepat ia kembali menghapus pesan itu.

Dian mengalihkan perhatiannya ke kemungkinan lain. Mungkin hari ini Anton masuk kerja. Ia segera bersiap-siap dan membangunkan Omar.

"Kita mau ke mana, Bu?" tanya Omar sambil menggosok matanya.

"Kita cari Ayah," jawab Dian dengan senyum kecil, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Dengan mengendarai scoopy yang biasa Anton gunakan untuk mengajak anak-anak berkeliling, Dian dan Omar pergi ke kantor kecil tempat Anton bekerja. Setibanya di sana, Dian segera turun dan menemui salah satu rekan kerja Anton.

"Permisi, Mas Aris, apa Mas Anton ada?" tanya Dian dengan nada penuh harap.

Aris salah satu staff di kantor Anton tampak terkejut melihat Dian. 

"Oh, Bu Dian. Pak Anton nggak ke sini sejak kemarin. Saya juga nggak bisa hubungi dia. Ada apa, Bu?"

Dian mencoba tersenyum walau hatinya hancur. 

"Nggak apa-apa, Mas. Saya kira mas Anton ada sini."

Aris mengerutkan dahi, seolah ingin bertanya lebih lanjut, tetapi Dian buru-buru pamit sebelum air matanya tumpah di depan orang itu. Sementara beberapa yang berdiri disana berbisik-bisik 

"itu istri mudanya pak Anton, kayaknya sedang ribut"

"iya, pelakor mulai kena getahnya" yang lain menimpali sambil berbisik namun tetap saja terdengar oleh Dian.

Dian kembali ke motornya setengah berlari dengan hati yang sakit semakin berat. Omar menatap ibunya dengan bingung.

"Ayah nggak ada di sini, Bu?" Dian menggeleng. "Enggak, sayang. Tapi kita akan cari lagi."

Mereka pergi ke beberapa tempat lain, termasuk warung kopi tempat Anton sering nongkrong dengan teman-temannya. Namun, hasilnya sama saja. Tidak ada yang tahu di mana Anton berada.

Saat hari mulai beranjak siang, Dian merasa usahanya sia-sia. Ia ingin menelepon Rita, istri pertama Anton, tetapi rasa malu dan gengsi menghalanginya. Bagaimana jika Anton memang kembali ke sana? Bagaimana jika ia tidak ingin kembali ke Dian? Pikiran-pikiran itu membuatnya semakin takut dan bingung.

***

Setelah seharian mencari, Dian dan Omar akhirnya pulang ke rumah. Dian duduk di ruang tamu dengan kepala bersandar di tangan, sementara Omar bermain dengan mainannya di lantai dan terlihat sangat tidak bersemangat.

"Bu, Ayah sama Kak Dika bakal pulang, kan?" tanya Omar dengan suara kecil.

Dian mencoba tersenyum, tetapi air mata mulai mengalir di pipinya. Ia memeluk Omar erat-erat. 

"Pasti, sayang. Ayah dan Kak Dika pasti pulang."

Namun, di dalam hatinya, Dian tidak yakin. Ke mana Anton pergi? Kenapa dia tidak memberi kabar? Dan kenapa nomor Dika juga tidak aktif? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, sementara malam kembali menyelimuti rumah yang mulai terasa dingin dan sunyi…

Suara ponsel yang tiba-tiba bergetar di genggamannya membuat Dian tersentak. Ia buru-buru membuka layar. Sebuah SMS dari nomor tak dikenal muncul di layar. Tangan Dian bergetar saat ia membaca pesan singkat itu:

"Apa yang bukan milikmu, tak akan pernah benar-benar tinggal. Yang pergi, pasti kembali ke tempat asalnya."

Pesan itu menghujam hatinya seperti petir di siang bolong. Air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Kata-kata itu seolah menyindirnya, menegaskan bahwa Anton, suami yang selama ini ia perjuangkan, dan Dika, anak yang ia anggap miliknya, mungkin memang bukan bagian dari hidupnya. Mereka pergi, dan mungkin tidak akan kembali. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa maksudnya? Ia terus bertanya meski hati kecilnya tahu siapa yang mengirim pesan.

Dian mencoba menelepon nomor tersebut, tetapi tak ada jawaban. Ia mengirim pesan balik, bertanya siapa pengirimnya, namun balasannya nihil….

***

Bersambung ke Bagian 5

Comments