Di negeri yang katanya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, mengakses buku masih terasa seperti sebuah kemewahan yang tak semua orang mampu beli.
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam budaya literasi. Data menunjukkan minat baca masyarakat kita masih rendah, bahkan sering berada di peringkat bawah dalam survei internasional. Bukan karena masyarakat tidak mau membaca, tetapi karena akses terhadap bahan bacaan berkualitas masih sangat terbatas. Banyak anak-anak tumbuh tanpa pernah menyentuh buku cerita, kecuali dari buku pelajaran yang terbatas jumlah dan variasinya.
Ironisnya, di era teknologi dan informasi seperti sekarang, buku fisik yang seharusnya mudah didapat justru menjadi barang mahal. Buku anak berkualitas, misalnya, bisa dibanderol hingga dua ratus ribu rupiah per eksemplar. Jumlah ini tentu bukan nominal kecil bagi keluarga dengan penghasilan pas-pasan. Tak heran jika membeli buku bukan prioritas utama, karena harus memilih antara membeli bacaan atau memenuhi kebutuhan pokok.
Betul bahwa kita punya perpustakaan kota, tapi bagaimana dengan mereka yang tinggal jauh dari pusat kota? Betul juga bahwa kini ada banyak taman baca dan pojok literasi, tapi sayangnya, tak sedikit dari tempat-tempat itu yang lebih sering tutup daripada buka. Ada sarana, tapi tak selalu ada akses dan keberlanjutan.
Kita patut mengacungkan jempol untuk para relawan dan penggiat perpustakaan keliling. Mereka tak lelah menawarkan bacaan gratis, berpindah dari kampung ke kampung, dari satu sekolah ke sekolah lain, membawa harapan lewat lembar demi lembar buku. Tapi mereka juga manusia. Mereka perlu biaya operasional, mereka perlu memperbarui koleksi, mereka juga punya kebutuhan hidup yang kadang harus dikorbankan demi cita-cita mencerdaskan anak bangsa.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kalau kita serius ingin anak-anak Indonesia mencintai buku, maka kita tak bisa hanya menyerahkan tugas ini pada relawan. Literasi adalah tanggung jawab kolektif. Tapi yang paling besar memikulnya tentu adalah negara.
Pemerintah tak cukup hanya membuat program kampanye "Gemar Membaca" di baliho dan iklan layanan masyarakat. Yang kita butuhkan adalah keberpihakan nyata: buku yang terjangkau, perpustakaan yang benar-benar hidup, dan dukungan konkret bagi para penggiat literasi akar rumput.
Solusi dan Usulan untuk Pemerintah
1. Subsidi Buku Berkualitas
Pemerintah bisa mengalokasikan anggaran khusus untuk subsidi harga buku anak dan buku literatur umum. Misalnya, buku-buku terpilih dijual dengan harga maksimal Rp50.000 melalui kerja sama dengan penerbit nasional.
2. Dana Literasi Desa dan Kelurahan
Buat skema dana tahunan untuk mendukung perpustakaan kecil di desa atau kelurahan, termasuk untuk update koleksi buku dan membayar honor pengelola atau relawan.
3. Optimalisasi Perpustakaan Daerah
Evaluasi jam buka, sistem peminjaman, dan kondisi koleksi buku di perpustakaan umum. Libatkan komunitas dalam pengelolaan agar lebih adaptif dengan kebutuhan warga.
4. Dukungan Serius untuk Perpustakaan Keliling
Berikan insentif, dana operasional, atau program kemitraan bagi perpustakaan keliling yang sudah terbukti menjangkau wilayah-wilayah terisolasi.
5. Digitalisasi dan Akses Internet Gratis
Perbanyak e-book gratis dan sediakan akses internet publik yang memadai agar warga bisa membaca buku digital tanpa harus membeli perangkat mahal.
Literasi adalah jantung kemajuan bangsa. Tapi selama buku masih menjadi barang mewah dan akses bacaan berkualitas terbatas, maka impian membangun generasi pembelajar akan terus tertunda. Sudah waktunya negara hadir, bukan hanya dalam wacana, tapi dalam aksi nyata.
Kalau menurutmu, apa solusi paling realistis agar anak-anak Indonesia bisa lebih mudah mendapatkan buku? Pernah merasakan sulitnya cari buku murah? Tulis pendapatmu di kolom komentar dan mari teruskan diskusi ini.
Wajib 9 tahun belajar adalah waktu negara hadir memberikan pelayanan terbaik untuk anak bangsa. Perpustakaan yg relevan, akses digitalisasi dan penyediaan buku serta nedia pembelajaran yang terbaik pada setiap sekolah.
ReplyDeleteTerpenuhinya setiap yang dibutuhkan, maka kewajiban setiap Kepala Sekolah dan guru meningkatkan kualitas diri untuk mengimbangi fasilitas yang sudah disiapkan.
Guru akan menjadi sumber pembelajaran terbaik untuk setiap siswa. Guru dengan kompetensi yang baik kemudian didukung dengan fasilitas yang layak akan mempercepat pertumbuhan anak, negara dan bangsa.
Terbatasnya fasilitas seperti buku, perpustakaan yang kurang memadai, tetapi guru yang produktif juga bisa memberikan harapan.
Jika buku mahal yang menjadi masalah untuk mencerdaskan bangsa, maka ada artikel, jurnal dan karya ilmiah yang bisa menambah wawasan dan pembaharuan ilmu pengetahuan.
Guru yang berkualitas dan produktif yang mampu menyelesaikan setiap persoalan bangsa dan negara. Guru kompeten yang mampu menghadirkan solusi setiap persoalan.
Wajib 9 tahun belajar adalah waktu negara hadir memberikan pelayanan terbaik untuk anak bangsa. Perpustakaan yg relevan, akses digitalisasi dan penyediaan buku serta media pembelajaran yang terbaik pada setiap sekolah.
ReplyDeleteTerpenuhinya setiap yang dibutuhkan, maka kewajiban setiap Kepala Sekolah dan guru meningkatkan kualitas diri untuk mengimbangi fasilitas yang sudah disiapkan.
Guru akan menjadi sumber pembelajaran terbaik untuk setiap siswa. Guru dengan kompetensi yang baik kemudian didukung dengan fasilitas yang layak akan mempercepat pertumbuhan anak, negara dan bangsa.
Terbatasnya fasilitas seperti buku, perpustakaan yang kurang memadai, tetapi guru yang produktif juga bisa memberikan harapan.
Jika buku mahal yang menjadi masalah untuk mencerdaskan bangsa, maka ada artikel, jurnal dan karya ilmiah yang bisa menambah wawasan dan pembaharuan ilmu pengetahuan.
Guru berkualitas dan produktif yang mampu menyelesaikan setiap persoalan bangsa dan negara. Guru kompeten yang mampu menghadirkan solusi setiap persoalan.