Bayangkan sebuah film musikal karya Garin Nugroho, dibintangi sederet aktor terbaik Indonesia — dari Nicholas Saputra, Ariel Tatum, hingga Happy Salma. Bayangkan sebuah narasi tentang seorang aktor besar yang bosan dengan kariernya, lalu memutuskan menggali sejarah perfilman Indonesia lewat teater musikal. Bayangkan ide segar, estetika visual, musikalitas tinggi, dan penghormatan kepada para maestro seperti Usmar Ismail. Lalu bayangkan… semuanya dibatalkan. Ya, begitu saja.
“Siapa Dia”, film musikal langka yang seharusnya menjadi penanda baru perfilman Indonesia, resmi tidak akan tayang. Bukan karena gagal produksi. Bukan karena tidak laku. Tapi karena drama. Karena ego. Karena sistem yang rusak.
Mari kita bicara jujur: Siapa Dia adalah film yang sangat ditunggu-tunggu. Karena genre musikal dalam film Indonesia bisa dihitung dengan jari. Karena Garin Nugroho bukan nama sembarangan. Karena premis film ini unik dan berani — sangat jarang sineas kita menyentuh sejarah perfilman secara reflektif lewat media musikal.
Tapi lagi-lagi, bukan soal kualitas karya yang jadi penentu. Film ini dibatalkan bukan karena tidak layak tayang, tapi karena dinamika ego dan politik internal. Produsernya, Faizal Lubis, dengan lantang menyebut bahwa pembatalan ini bukan gimmick. Ini keputusan yang lahir dari kelelahan, dari rasa muak, dari sistem distribusi film Indonesia yang terlalu banyak “politik tak perlu”.
🧱 Birokrasi yang Merusak Semangat
Kita mungkin tidak tahu persis "politik" macam apa yang dimaksud. Tapi yang jelas, ini bukan pertama kalinya kita mendengar betapa berbelitnya dunia perfilman Indonesia. Untuk sekadar menayangkan film di bioskop, produser harus melompati banyak rintangan — mulai dari regulasi, distribusi, sampai konflik internal dengan aktor dan kru.
Dan yang lebih menyakitkan: ketika konflik personal dan ego satu-dua orang bisa membuat pekerjaan ratusan orang lainnya jadi sia-sia. Apakah sistem kita begitu lemah, sampai satu masalah bisa membatalkan karya sebesar ini?
🎬 Indonesia Tidak Kekurangan Talenta. Kita Kekurangan Sistem.
Ironis. Di saat negara lain berlomba-lomba memproduksi karya dengan genre dan bentuk baru, kita justru menghancurkan karya segar kita sendiri. Padahal Siapa Dia punya potensi besar untuk mendobrak kebiasaan genre monoton di bioskop-bioskop Indonesia.
Kita tidak kekurangan ide. Kita tidak kekurangan bakat. Yang kita kekurangan adalah rasa hormat terhadap karya dan sistem yang mendukungnya.
Kalau film seperti ini saja bisa “dimatikan” sebelum hidup, bagaimana nasib karya-karya lain yang mungkin tak punya bintang besar dan nama besar di baliknya?
💔 Yang Tersisa: Kekecewaan dan Harapan yang Gagal
Film ini akan diputar hanya sekali di Jakarta, untuk 300 orang, secara gratis. Setelah itu? Hilang. Tidak di bioskop. Tidak di OTT. Tidak di festival. Tidak kemana-mana.
Mungkin kita bisa menyebutnya: film arwah — ada wujudnya, tapi tidak bisa disentuh. Hidup di balik layar, tapi tidak pernah menyapa penontonnya.
Dan ini adalah kerugian besar. Bukan hanya bagi pecinta film. Tapi bagi dunia seni kita, yang sedang berjuang untuk tumbuh — tapi justru diinjak dari dalam.
🗣️ Sampai Kapan Harus Begini?
Apakah kita akan terus menyaksikan film-film bagus dikorbankan oleh konflik internal dan sistem bobrok?
Apakah kita harus terus kecewa sebagai penonton, ketika industri justru lebih sibuk mengurus drama daripada membesarkan karya?
Siapa Dia adalah simbol dari banyak hal yang salah dalam industri kita. Tapi semoga, dari luka ini, ada perubahan. Karena penonton Indonesia tidak sebodoh itu. Dan kami, para pecinta film, tidak akan diam.
***
Kalau kamu setuju dengan isi tulisan ini, jangan ragu untuk membagikannya. Suara kita, sekecil apapun, mungkin bisa jadi tekanan agar sistem perfilman kita benar-benar berbenah.
Trailer Siapa Dia..
Comments
Post a Comment