Suatu hari, istriku berkata bahwa aku terlihat sering pusing dan banyak pikiran. Ia mengira ini soal siswa-siswaku atau kondisi di sekolah. Padahal saat itu, aku sedang memikirkan hal lain: bagaimana menghadapi anakku yang mulai beranjak remaja, bagaimana menjadi ayah yang baik bagi dia dan adik-adiknya. Kadang-kadang, aku juga memikirkan ibuku yang beberapa hari tak ada kabar. Dan hal-hal lainnya yang tak terlihat di permukaan.
Sejujurnya, aku sudah berusaha membangun batasan—batasan tentang siapa saja yang boleh masuk ke hati dan pikiranku.
Aku pernah menjelaskan padanya bahwa ada dua kelompok orang dalam hidupku.
Pertama, mereka yang aku beri perhatian dan waktu, tapi tidak aku izinkan menyentuh terlalu dalam. Sikap buruk, ucapan menyakitkan, atau perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka… cukup sampai di mata dan telinga saja. Tak aku biarkan menembus hati. Itu adalah bentuk perlindungan.
Kedua, mereka yang aku beri cinta, rasa hormat, dan kasih sayang sepenuhnya—dengan seluruh hati dan pikiran. Merekalah yang memiliki potensi besar untuk membuatku sangat bahagia… atau sebaliknya, sangat terluka. Mereka adalah keluarga. Orang-orang yang lebih tua yang aku hormati. Orang-orang hebat yang aku kagumi. Dan karena mereka bisa membuatku benar-benar marah, kecewa, atau sedih, aku merasa perlu menjaga hubungan dengan kelompok ini sebaik-baiknya.
Bukan berarti aku membeda-bedakan. Tapi aku sadar, energi yang kupunya terbatas. Maka batasan itu penting. Bukan untuk menjauh, tapi untuk melindungi. Untuk memilih di mana hati ini bisa tinggal dengan damai.
Kenapa Kita Harus Punya Batasan (Boundaries)?
Banyak orang mengira bahwa menjadi orang baik berarti harus selalu bisa membantu siapa saja, kapan saja, dengan hati terbuka dan tanpa batas. Padahal, justru karena kita ingin tetap baik dan tetap waras, kita perlu boundaries—batasan yang sehat.
Boundaries bukan tembok yang membuat kita dingin, egois, atau tertutup. Tapi seperti pagar rumah. Ia melindungi, bukan mengisolasi. Ia memastikan apa yang boleh masuk dan apa yang seharusnya berhenti di luar. Dan sama seperti pagar, boundaries perlu dibangun dengan jelas dan tegas—namun tetap ramah.
Beberapa boundaries penting yang perlu kita bangun:
-
Batas waktu dan tenagaTidak semua permintaan harus dijawab "iya". Kita punya hak untuk istirahat. Hak untuk tidak membalas pesan di luar jam kerja. Hak untuk berkata, "Maaf, saya tidak sanggup."
-
Batas emosionalKita bisa peduli tanpa menyerap semua emosi orang lain. Kita bisa mendengarkan tanpa harus memikul. Kita bisa berempati tanpa harus ikut tenggelam.
-
Batas pikiran dan ruang pribadiTidak semua orang perlu tahu isi kepala kita. Tidak semua komentar orang harus kita pikirkan. Kita punya ruang dalam diri yang tidak semua orang berhak masuki.
-
Batas relasiKita berhak menjaga jarak dari orang-orang yang terus-menerus menyakiti, meski mereka keluarga. Kita boleh memilih lingkungan yang menumbuhkan, bukan yang terus membuat kita merasa kecil.
Tanpa boundaries, kita akan kelelahan—secara fisik, mental, maupun batin. Kita akan sulit membedakan antara cinta dan pengorbanan yang melelahkan. Kita menjadi lebih mudah terluka oleh hal-hal yang sebenarnya tidak layak melukai kita.
Menjaga diri bukanlah bentuk keegoisan. Itu adalah tanggung jawab. Karena ketika kita sehat—secara mental dan emosional—barulah kita bisa benar-benar hadir untuk orang lain.
Maka hari ini, mari kita bertanya pada diri sendiri:
Siapa yang selama ini terlalu bebas masuk ke hati dan pikiranku?Apakah aku sudah membuat batasan yang cukup sehat untuk menjaga diriku sendiri?Sudahkah aku memberi ruang untuk pulih, tanpa rasa bersalah?
Comments
Post a Comment