Hari masih siang, Jam di hape menunjukkan jam 2.23 menit. Rapat yang dimulai sejak jam 10 pagi baru kelar Ketika adzan zuhur berkmundang. Bukan materi rapatnya yang padat melainkan butuh waktu 30 menit lebih menunggu orang-orang yang belum datang. Gila ya, kenapa di Indonesia selalu begitu? Yang datang tepat waktu “dihukum” yang telat malah diberi “penghargaan” dengan baru-memulai-rapat-ketika-mereka-tiba. Jadilah jam segini baru bisa istirahat di rumah.
Bagi semua anak sekolah jam keluar main atau jam istirahat adalah waktu yang dinanti-nanti. Begitupun aku dan tujuh belas teman kelasku juga bagi siswa lainnya. Semua berhambuan keluar kelas serempak dengan teriakan Bahagia. Sesaat kemudian semua sudah di posisi pilihan masing-masing. Belanja di kantin, manjat pohon Nangka besar di sebelah barat halaman sekolah, bermain bola atau sekedar duduk di teras kelas.
Hari-hari di sekolah nyari seperti itu setiap hari. Di luar jam sekolah, di kampung kami hari-hari kami, jauh lebih berat. Orang dewasapun turut menjadi perundung bagi siapa saja yang berbeda kesukaannya, tak sama hobinya dengan mayoritas orang. Entah mengapa standar itu menjadi sempit dikampungku.
Tyan yang memang selalu punya kesibukan membantu kakaknya berjualan dan pekerjaan rumah lainnya memang tidak bisa ikut bermain seperti anak-anak lain. Ia cerdas, otaknya encer, ia juara dan mengajipun jago. Akupun demikian, lima waktu sholat di masjid, di sekolah aku selalu juara, aktif menjadi ketua redaksi mading sekolah, menjadi anggota pramuka dan PMR aktif seharusnya aku bisa diterima siapa saja. Tapi nyatanya semua itu tidak cukup dan tidak bisa meloloskan kami dari perundungan.
Masa remajaku semakin berat ketika aku mulai terbiasa menyalahkan diri sendiri.
Mengapa aku tidak nakal saja seperti mereka agar hidup berjalan baik, kenapa
aku harus seculun anggapan mereka, kenapa aku tidak suka bermain sepak bola.
Kenapa aku bodoh sekali. Perilaku menyalahkan diri sendiri ini benar-benar
toxic, karenanya setiap malam setiap hari selalu saja tiba-tiba datang perasaan
membenci diri sendiri itu. Bahkan ketik tak ada pemicu ia muncul begitu saja, perasaan
seketika menjadi seperti awan gelap yang suram, menyeramkan. Ia bisa muncul dimana
dan kapan saja. Di kelas, di depan tv, di tempat tidur, dimanapun. Butuh usaha yang keras agar perasaan itu hilang. Bahkan dalam mimpipun mereka hadir sebagai mimpi
buruk setiap malam. Mengapa tidak cerita
kepada orang dewasa? Alasannya jelas karena posisinya saya merasa bersalah kenapa
saya berbeda sendiri? Bahkan orang-orang mencibir karena diantara saudara-saudara
saya hanya saya yang tidak menemuki olahraga. Maka saya semakin tidak bisa
bercerita pada siapapun karena menurutku posisinya aku yang salah.
Hingga
akhirnya ketika akan lulus SMP aku memohon kepada orang tuaku agar aku bisa
memilih sendiri SMA mana tempat aku melanjutkan sekolahku. Aku ingin terbebas
dari suara-suara yang setiap hari menjadi mimpi buruk dalam alam bawah sadarku.
Maka ketika memasuki SMA aku memasuki sebuah hidup baru yang menyenangkan. Hingga
pada tahun aku lulus SMA, pada satu titik aku menyadari satu hal. Bahwa saat itu bukan aku yang salah, tempatku berada saat itu yang tidak cocok untukku
Lalu Tyan bagaimana? Setahuku ia
masih harus berjuang menghadapi lidah-lidah tajam tanpa perasaan itu karena ia melanjutkan
SMP dan SMA di sekitar situ saja. Sejak itu aku kehilangan kontak dan meski
bertemu kami tak pernah sempat bertegur sapa. Aku mengerti apa yang ia rasakan,
yang ia pikirkan.
***
Pada akhirnya tanyaku terjawab sudah. Dari facebook aku akhirnya tahu semua. Tyan pindah ke Bandung entah sejak selesai SMA atau beberapa tahun setelah itu. Ia Memulai hidup baru disana, menjadi dirinya yang baru di tempat yang tak ada jejak masa lalu selain yang ada dalam otak kecilnya. Ia memposting banyak foto dirinya yang sudah benar-benar berubah menjadi lelaki bertubuh tinggi dan berotot besar. Ia Bahagia dengan teman-teman barunya yang menerimanya apa adanya. Ia akhirnya menemukan “rumah” yang ia cari. Benar kata Dee Lestari di Supernova : Partikel, “Jika di dalam hati tenang, semua tempat bisa menjadi rumah” dan Tyan akhirnya memutuskan untuk dibabtis.
Jujur
saya senang melihat kehidupannya yang sekarang meski sejujurnya juga saya tidak
kanget dengan pilihannya untuk murtad. Ia menemukan rumahnya disana setelah
tempat yang harusnya menjadi rumah yang nyaman malah membuatnya tersiksa. Hal yang wajar ketika seseorang menentukan pilihan terbaik menurutnya.
Demi menjaga keseamatan mentalnya setelah terbunuh berkali-kali.
Ia terlihat Bahagia lewat
unggahan-unggahannya. Ia tak
perlu membuktikan apa-apa lagi pada siapapun. Hanya bahagia dengan hidupnya. Aku
lega meski jujur ada perasaan yang menyayangkan kita tak seakidah lagi, tak
bisa puasa dan lebaran bersama lagi seperti masa kecil yang bahagianya selalu
terpotong-potong oleh orang-orang bermulut kejam. Tapi tidak apa-apa, tidak seakidah tapi kita
masih sesama manusia yang tetap harus saling menghargai dan menghormati.
***
Suatu
hari, saya mendapat kesempaan menjadi pembicara disebuah penyuluhan untuk
anak-anak di salah satu lingkungan di
wilayah sekitar SMP kami dulu. Disana banyak terjadi pernikahan dini dan perceraian
dini yang mengakibatkan banyak anak-anak tidak mendapatkan haknya sebagai anak.
Saya berdiri di depan warga, berbicara tentang perundungan. Siapa sangka
wajah-wajah yang sering menjadi mimpi buruk saya 20an ahun yang lalu ada di
depanku. Sembari terus menatap tenang ke matta mereka, aku menceritakan pengalamanku menjadi korban
perundungan. Aku beri tahu mereka bahwa bahkan sampai detik ini rasa sakitnya
masih sama, ia terus berada di alam bawah sadarku dan berkali-kali menjadi
penghalang langkah-langkahku menggapai mimpi. Betapa jahatnya para pembuli.
Seketika
tanganku bergetar memegang mikrofon, mataku memanas, lalu berkaca-kaca. Andai
ia tahun proses yang aku lalui sampai bisa berada disini hari ini. Andai ia
merasakan bagaimana rasanya kehilangan banyak kesempatan meraih mimpi hanya
karena luka batin yang kerap muncul traumanya di saat-saat yang tidak tepat. Andai
ia tahu betapa berat dan panjang proses penyembuhan untuk luka-luka yang
disayatkan oleh lidah nya. Mungkin ia akan berpikir
berkali-kali untuk merundung. Namun percayalah mereka tidak akan pernah ingat apa
yang telah mereka lakukan dan ucapkan.
Mereka tak akan percaya ada orang
yang sampai murtad karena dirundung. Mereka akan bertanya “Kok bisa”? atau “Kok
lemah sekali imannya?” “Masa segitunya sih, sampai pindah agama”? taik!
Semoga saja generasi selanjutnya
mengerti dan tak ada lagi basa basi busuk yang menyenangkan buat mereka tapi
mematikan buat orang lain. Untuk temanku, semoga kamu bahagia dengan apapun
pilihanmu. Semoga bisa bebas dari luka batin masa kecil yang seperti kerikil
tajam di dalam Sepatu kita...
Mataram, 2 Januari 2023
Pada akhirnya tanyaku terjawab sudah. Dari facebook aku akhirnya tahu semua. Tyan pindah ke Bandung entah sejak selesai SMA atau beberapa tahun setelah itu. Ia Memulai hidup baru disana, menjadi dirinya yang baru di tempat yang tak ada jejak masa lalu selain yang ada dalam otak kecilnya. Ia memposting banyak foto dirinya yang sudah benar-benar berubah menjadi lelaki bertubuh tinggi dan berotot besar. Ia Bahagia dengan teman-teman barunya yang menerimanya apa adanya. Ia akhirnya menemukan “rumah” yang ia cari. Benar kata Dee Lestari di Supernova : Partikel, “Jika di dalam hati tenang, semua tempat bisa menjadi rumah” dan Tyan akhirnya memutuskan untuk dibabtis.
kita hampir sama Jie....sy jg dulu bgitu....makanya sy hijrah kemtram, jarang2 sy pulang, nggak tau kenapa ya orang2 dulu itu suka membuly....mereka mmbuly itu dianggap sbgai hiburan gratis...bener2 mrka mnikmati melihat kita sedih dibuly
ReplyDelete