Perempuan Sasak Terakhir : Tiga Kisah, Satu Akar Bernama Sasak.

Sebelum ramai film-film lokal yang mengangkat budaya dan perempuan seperti Seher atau Melaiq, Lombok pernah lebih dulu menyuarakan kegelisahan yang sama lewat film “The Last Sasak Women” (Perempuan Sasak Terakhir) karya Sandi Amaq Rinjani, sineas lokal dengan napas panjang budaya.

Dirilis tahun 2012, film ini seolah jadi arsip hidup tentang perempuan, adat, dan modernitas yang terus saling tarik-menarik di bumi Sasak. Lokasi syutingnya pun bukan sembarangan: mulai dari Desa Adat Sembalun di kaki Gunung Rinjani, sampai dusun-dusun kecil yang masih menyimpan denyut tradisi yang kuat.
________________________________________

Cerita yang Bukan Cuma Tentang Perempuan, Tapi Juga Tentang Kita Semua

Film ini dibagi dalam tiga kisah, yang berdiri sendiri tapi punya benang merah: apa yang terjadi saat budaya lama bertemu zaman baru, dan perempuan menjadi titik tarik ulur itu.

✦ Kisah 1: Riyan dan Ayah, Perjalanan Sunyi Menemukan Akar

Riyan, pemuda 22 tahun pulang ke Lombok setelah hidup lama di Jakarta. Ia bertemu kembali dengan orang tuanya—yang justru terasa seperti orang asing. Budaya pop dan gaya hidup instan yang dia bawa dari kota besar berbenturan keras dengan adat yang masih dijaga keluarganya.
Alih-alih memaksa, sang ayah mengajaknya dalam perjalanan motor selama seminggu—keliling Lombok—untuk memperkenalkan kembali tanah kelahiran, sejarah, dan nilai-nilai Sasak.
Dari obrolan di atas motor, konflik generasi ini secara perlahan mencair.
Lombok tidak hanya tempat mereka tinggal—tapi tempat untuk belajar menjadi utuh kembali.

✦ Kisah 2: Wati, Cinta Buta pada Dunia Luar

Wati dan ayahnya ingin tampil beda. Mereka satu-satunya keluarga di kampung yang punya TV parabola, rental PS, dan gaya hidup modern. Ketika Wati berkenalan dengan pria Malaysia yang kemudian datang ke kampungnya dan melamarnya, semua tampak seperti mimpi.
Sayangnya, itu hanya ilusi. Pria itu pergi tepat sebelum akad nikah. Tinggal Wati yang harus menanggung malu dan hancurnya harapan. Apa yang terjadi kemudian? 
Kisah ini menampar: kadang yang berkilau bukan selalu emas. Dan budaya bukan berarti kuno—kadang justru benteng yang menyelamatkan.

✦ Kisah 3: Anjnai, Guru Desa dan Tanggung Jawab Tak Terucap

Anjani merawat ayahnya yang sakit, menggantikan peran beliau sebagai guru kampung. Ia mendidik anak-anak agar tidak hanyut dalam arus budaya luar. Tapi satu siswanya justru terlibat kasus pembunuhan, diduga akibat terpengaruh video game kekerasan.
Peristiwa ini mengguncang segalanya. Ayah Anjnai meninggal karena terpukul. Dan Anjnai sendiri seperti ditinggalkan oleh dunia yang ia coba lindungi.
Ini kisah tentang bagaimana perempuan bisa menjadi guru, penjaga, dan korban dalam satu waktu.
________________________________________

Kuat di Budaya, Tegas di Pesan

Yang bikin film ini beda adalah keberanian tidak memoles budaya hanya sebagai latar, tapi sebagai napas utama cerita. Di film ini:
  • Bahasa Sasak dipakai dalam dialog dan narasi, bukan hanya jadi tempelan eksotisme.
  • Adat merariq (pernikahan adat Sasak), gotong royong, relasi antara tetua dan generasi muda, serta ritual-ritual desa hadir alami dan menyatu dalam cerita.
  • Kritik sosial terhadap budaya pop, media, dan penetrasi luar tidak disampaikan secara menggurui, tapi lewat kejadian-kejadian yang sangat membumi.
________________________________________

Sandi Amaq Rinjani: Si Penjaga Suara-Suara Sunyi

Sandi bukan sekadar sutradara. Ia adalah suara yang mencoba merekam denyut Lombok dalam bentuk sinema. Lahir dan besar di Lombok, ia tahu betul luka dan cinta yang hidup di tanahnya. Lewat film ini, ia mengingatkan bahwa budaya bukan benda mati—ia bisa sakit, bisa berubah, dan bisa punah kalau kita tidak menjaganya dengan sadar.  

Sandi Amaq Rinjani adalah seorang sutradara muda asal Lombok yang menempuh pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sebagai putra asli Sasak, Sandi membawa kegelisahan dan cinta terhadap budayanya ke dalam karya-karyanya. Melalui film Perempuan Sasak Terakhir, ia mengangkat isu-isu sosial yang dihadapi masyarakat Sasak, terutama perempuan, dalam menghadapi arus modernisasi dan perubahan zaman. ​

Dalam proses produksi film ini, Sandi melibatkan sekitar 90% pemain dan kru dari Lombok, menunjukkan komitmennya untuk memberdayakan talenta lokal dan menjaga keaslian budaya dalam setiap aspek film. ​

Sandi juga dikenal aktif dalam kegiatan sosial dan budaya di Lombok, termasuk menjabat sebagai Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Lombok Timur. Perannya dalam mempromosikan pariwisata dan budaya lokal menjadikannya figur penting dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya Sasak.​
________________________________________

Tayang Kembali

Kabar baiknya buat kalian yang belum sempat nonton, film ini akan dtayangkan kembali di channel youtube Kelampan Rakyat pada tanggal 21 April 2025 mendatang. 

________________________________________

Perempuan Sasak Terakhir (The Last Sasak Women) adalah Kita

Film ini bukan hanya tentang perempuan Sasak, tapi tentang perempuan di mana pun yang sedang mencari ruangnya sendiri, di antara adat yang mengekang dan zaman yang berlari. Dan, meski rilis lebih dari satu dekade lalu, pesan film ini masih sangat relevan hari ini.

Apakah kita sudah benar-benar mendengarkan suara mereka?

Comments