Belajar Dari Finland, Saatnya Kita Bertanya Ulang: Untuk Siapa Sekolah Itu Ada?


Setiap pagi, jutaan anak-anak di Indonesia berangkat ke sekolah. Dengan seragam rapi, buku yang berat, dan kepala yang dipenuhi target-target akademik. Di sisi lain, para guru datang ke kelas dengan mata lelah, pikiran penuh beban administrasi, dan hati yang—mungkin—sudah mulai kehilangan nyala.

Saya membaca buku Mengajar Seperti Finlandia karya Timothy D. Walker di tengah rutinitas itu, dan rasanya seperti menemukan oase. Sebuah tamparan lembut sekaligus pelukan hangat bagi siapa pun yang pernah terlibat dalam dunia pendidikan—baik sebagai guru, murid, orang tua, atau pengamat.

Di Finlandia, siswa punya waktu istirahat 15 menit setiap 45 menit belajar. Tidak banyak PR. Tidak ada ujian nasional yang menegangkan. Guru-guru tidak lembur. Mereka pulang sore hari, punya waktu untuk keluarga dan hobi, dan mengajar dengan damai.

Bukan karena mereka pemalas. Tapi karena mereka percaya: pendidikan bukan soal siapa paling cepat, paling banyak hafal, atau paling tinggi nilai. Pendidikan adalah proses manusia menjadi utuh.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri: Mengapa kita begitu terburu-buru?
Anak-anak belum genap 7 tahun, sudah dituntut bisa membaca lancar, berhitung cepat, dan duduk tenang sepanjang hari. Mereka dianggap “tertinggal” kalau belum bisa ini-itu. Kita lupa bahwa mereka bukan robot. Mereka manusia kecil yang sedang belajar menjadi diri sendiri.

Dan guru? Terlalu sering didorong jadi pahlawan super. Harus kuat, harus sabar, harus mengorbankan waktu dan tenaga tanpa batas. Tapi pahlawan juga manusia. Mereka juga butuh istirahat, dihargai, dan dimanusiakan.

Membaca buku ini membuat saya sadar bahwa mungkin selama ini kita keliru dalam mendesain sekolah. Kita mengajar demi angka. Kita menilai siswa dari ranking. Kita menekan guru dengan laporan. Dan kita menyebut semua itu sebagai “kemajuan”. Padahal kemajuan itu sederhana: anak-anak yang bahagia belajar, dan guru-guru yang bahagia mengajar.

Finlandia tidak sempurna. Tapi mereka sudah jauh melampaui kita dalam hal yang paling esensial: memanusiakan pendidikan. Mereka tidak sekadar mengajar matematika dan bahasa. Mereka menumbuhkan rasa percaya diri, tanggung jawab, dan rasa ingin tahu. Mungkin sudah waktunya kita menoleh ke arah lain. Bukan untuk meniru habis-habisan, tapi untuk belajar dengan rendah hati. Bahwa sekolah bisa jadi tempat yang menyenangkan. Bahwa guru bisa mengajar tanpa harus mengorbankan hidupnya. Dan bahwa anak-anak kita pantas tumbuh dalam sistem yang mencintai mereka, bukan hanya menilai mereka.

Karena pada akhirnya, sekolah bukan soal mencetak juara olimpiade. Tapi mencetak manusia yang siap menghadapi hidup—dengan kepala yang jernih, hati yang kuat, dan jiwa yang utuh.

Comments

Post a Comment