Kadang kita terlalu sibuk menonton kisah orang lain, sampai lupa: yang kita tonton itu bukan film, tapi hidup nyata. Dan dalam cerita yang viral dan penuh drama itu, ada anak-anak yang terus terluka, padahal mereka gak pernah minta lahir di tengah konflik dan sorotan.
Konflik lama antara Ahmad Dhani dan Maia Estianty sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan saat keduanya sudah punya jalan hidup masing-masing, sudah bahagia, sudah berdamai (minimal dengan hidupnya sendiri)… netizen masih aja ribut.
Setiap kali ada unggahan, setiap kali salah satu anak muncul di media sosial, komentar negatif datang bertubi-tubi. Ada yang menyindir, ada yang membandingkan, ada yang bahkan menghujat secara langsung.
Yang kena? Anak-anak.
Baik anak-anak dari pernikahan Ahmad Dhani dan Maia, maupun dari pernikahan Ahmad Dhani dan Mulan. Mereka semua sama-sama terdampak. Yang satu sering dibebani untuk “memihak” dan menanggung bayang-bayang perpisahan orang tuanya. Yang lain terus-menerus dihakimi dan dianggap “produk dari kesalahan”.
Padahal...
mereka gak pernah minta dilahirkan dalam cerita rumit ini. Mereka cuma ingin jadi anak-anak biasa. Tumbuh. Bahagia. Dihargai.
Tapi sayangnya, netizen sering lupa.
Lupa bahwa anak-anak gak mewarisi dosa orang tuanya. Lupa bahwa gibah, meskipun terasa sepele, bisa menyakiti lebih dalam dari yang kita kira. Dan yang paling menyedihkan—lupa bahwa semua orang berhak untuk sembuh dari masa lalu, termasuk anak-anak.
Bayangkan betapa beratnya dilema mereka. Di satu sisi, mereka mencintai orang tua mereka. Di sisi lain, publik menuntut mereka untuk berpihak, untuk menjelaskan, untuk mewakili.
“Kenapa sih kamu masih deket sama ayahmu?”
“Kenapa sih kamu posting foto sama dia bla bla ?”
Dan Pertanyaan-pertanyaan yang gak seharusnya mereka tanggung. Karena mereka bukan karakter utama dalam cerita ini. Tapi entah kenapa, mereka terus diseret jadi pemeran pengganti dari konflik orang dewasa.
Padahal, Allah itu Maha Adil...
Setiap manusia diuji dengan caranya masing-masing. Tapi gak ada satu pun dari kita yang ditugaskan untuk jadi penguji hidup orang lain—apalagi anak-anak.
Ghibah dan komentar jahat mungkin terlihat receh, tapi bagi mereka yang sedang berjuang menyembuhkan diri, itu bisa jadi luka baru yang lama sembuhnya.
Jadi, yuk…
Mulai jaga lisan dan jari. Karena kadang, bentuk kasih sayang paling bijak adalah dengan tidak ikut menyakiti.Tidak ikut mewariskan luka. Tidak ikut mengomentari hidup yang bahkan bukan milik kita.
Anak-anak ini gak salah.
Dan mereka juga berhak bahagia—sama seperti kita semua.
Setuju... Adem bacanya
ReplyDelete