Heterarki Masyarakat Muslim Indonesia – Buku Kritis, Santai, dan Bikin Kamu Ngelihat Dunia dari Sudut yang Lain

Pernah nggak sih kamu merasa masyarakat kita terlalu kaku? Segalanya harus diatur dari atas, dari yang dianggap “lebih tinggi”? Buku Heterarki Masyarakat Muslim Indonesia membuka cara pandang baru bahwa masyarakat kita tidak hanya bisa dipahami lewat struktur hierarkis, tapi juga dengan cara yang lebih horizontal, cair, dan adil: yaitu heterarki.

Buku ini ditulis oleh dua pemikir keren, sepasang suami istri inspiratif dan mereka tetangga saya : Prof. Dr. Atun Wardatun, yang banyak meneliti soal perempuan, gender, dan Islam. Prof. Dr. Abdul Wahid (Aba Du Wahid), yang fokus pada perubahan sosial dan dinamika masyarakat Muslim. Beliau berdua ini dengan humble tidak mengklaim bahwa ini adalah teori baru. Tapi mencoba metode alternatif—kombinasi dari berbagai pendekatan sosial yang udah ada—untuk memahami masyarakat Muslim di Indonesia.

Mereka tunjukin bahwa Agensi atau kapasitas bertindak itu bisa dimiliki siapa aja, termasuk perempuan di daerah seperti Bima, NTB. Kalau di Barat perempuan menunjukkan agensi lewat resistensi, di Bima agensinya lebih komunal, akomodatif, dan penuh solidaritas. 

"Kita terlalu sibuk menghitung jumlah umat, tapi giliran pemilu kok kalah terus?" Nah, itu sindiran dari Emha Ainun Nadjib yang dikutip Prof. Wahid. Artinya: perubahan sosial itu gak bisa cuma bangga jumlah, harus ada kesadaran kolektif!

***

Setelah "berusaha" membaca dan menyelesaikan buku ini (Karena sejujurnya buat saya ini salah satu topik yang cukup berat hehehe) inilah lebih kurang 10 hal penting yang bisa kamu temui dalam buku Heterarki Masyarat Muslim Indonesia ini :

1. Pemikiran segar soal heterarki, bukan lagi hierarki

Buku ini mengajak kita keluar dari cara pandang lama yang melihat masyarakat secara vertikal—siapa lebih tinggi, siapa lebih rendah—dan mengenalkan konsep heterarki, yaitu susunan sosial yang lebih horizontal dan cair. Dalam heterarki, tidak ada satu otoritas tunggal yang selalu dominan. Ini membuka ruang bagi keragaman otoritas, termasuk dalam ranah agama, budaya, dan gender.

2. Agensi perempuan yang tidak dilihat dari lensa Barat

Bias gender dalam studi Islam seringkali berasal dari perspektif Barat. Buku ini justru menyodorkan cara pandang lokal, khususnya dari masyarakat Muslim di Indonesia, untuk menunjukkan bahwa perempuan punya daya, pilihan, dan peran penting dalam masyarakat—bukan sebagai korban atau obyek pasif, tapi sebagai pelaku yang aktif dan punya kuasa atas hidupnya.

3. Perubahan sosial yang dimulai dari bawah, bukan selalu dari atas

Kebanyakan narasi pembangunan sosial datang dari atas: pemerintah, elit agama, institusi formal. Buku ini memperlihatkan bahwa transformasi sosial seringkali dimulai dari akar rumput, dari inisiatif masyarakat lokal yang sehari-hari, dan kadang justru lebih berpengaruh serta berkelanjutan.

4. Islam yang kontekstual dan membumi

Alih-alih melihat Islam sebagai ajaran yang seragam dan kaku, buku ini menyoroti praktik Islam yang hidup di tengah masyarakat lokal, seperti di Bima. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam bisa menyatu dengan budaya setempat secara dinamis dan saling menguatkan, tanpa kehilangan esensinya.

5. Kritik terhadap dominasi elit keagamaan

Ada pembacaan kritis terhadap kelompok-kelompok yang merasa paling berhak menafsirkan agama. Buku ini menantang otoritas tunggal dan mendorong pembaca untuk mempertanyakan: apakah kita harus selalu tunduk pada tafsir dominan? Apakah tidak ada ruang bagi tafsir alternatif yang lebih adil dan kontekstual?

6. Studi kasus nyata masyarakat Bima

Buku ini tidak hanya bermain di tataran teori. Ia mengangkat kisah nyata masyarakat Muslim Bima di NTB, lengkap dengan dinamika sosial, budaya, dan keagamaannya. Dari situ, pembaca diajak melihat bagaimana konsep-konsep besar seperti heterarki dan agensi perempuan benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari.

7. Perempuan sebagai subjek, bukan objek

Perempuan tidak dilihat sebagai kelompok yang "diatur" atau "diberdayakan", tapi sebagai agen aktif yang mengatur dirinya sendiri dan lingkungannya. Ini penting, karena seringkali narasi keagamaan atau pembangunan masih menempatkan perempuan di posisi pasif.

8. Agama, budaya, dan kekuasaan bukan musuh, tapi bisa harmonis

Dalam banyak diskursus, ketiganya seringkali dianggap bertentangan. Tapi buku ini menunjukkan bahwa ketiganya bisa berjalan bersama, saling bernegosiasi, bahkan saling menguatkan—tentu saja dengan pendekatan yang kritis dan berpihak pada keadilan sosial.

9. Penulisan yang jernih dan gak bikin mumet

Walaupun topiknya cukup berat (iya, kamu gak sendiri 😅), buku ini ditulis dengan bahasa yang jernih dan runut. Penulis tidak terjebak dalam istilah akademik yang membingungkan, tapi tetap menjaga kedalaman analisis. Cocok buat pembaca umum yang ingin memperluas wawasan tanpa merasa "tersesat".

10. Harapan besar akan transformasi sosial yang adil dan sejajar

Di akhir, buku ini memberi semacam energi positif: bahwa perubahan itu mungkin, bahwa masyarakat punya kekuatan untuk berubah dari bawah, dengan cara yang lebih adil dan setara. Tidak utopis, tapi realistis. Tidak menggurui, tapi menggugah.

Dan ini beberapa kutipan dalam buku ini yang bikin mikir banget :

1. Tentang heterarki
“Relasi sosial tidak selalu vertikal; kekuasaan tersebar dalam jaringan—tidak hanya satu pusat, tetapi banyak pusat yang berinteraksi.”
( Menangkap esensi bahwa dalam masyarakat Muslim (khususnya di Bima), otoritas bersifat cair dan saling dinegosiasikan)

2. Tentang agensi perempuan
“Perempuan bukan hanya penerima norma, tetapi mereka aktif merumuskan tafsir dan peran dalam kehidupan religi dan sosial.”
(Berdasar analisis akademik yang menekankan perempuan sebagai agen aktif, bukan objek pasif .)

3. Islam kontekstual
“Islam dalam praktik sehari-hari jauh lebih lentur daripada apa yang tertulis dalam buku teologi."
(Ide ini jelas tersirat dari diskusi tentang bagaimana Islam membumi di Bima dan masyarakat lokal lainnya)

4. Perubahan dari akar
“Transformasi sosial bukan proyek elit; ia tumbuh dari kerja kolektif masyarakat kecil.”
Merujuk pada gagasan utama buku terkait perubahan sosial berbasis relasi lokal, bukan atas ke bawah .

***

Kesimpulannya, Buku ini bukan cuma tentang struktur sosial. Ini adalah cara pandang baru untuk membaca masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Muslim, dari sudut yang lebih inklusif, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Jadi, Kalau kalian Seorang guru, dosen, atau aktivis, Mahasiswa yang lagi skripsian soal gender atau Islam, Atau kamu cuma ingin tahu kenapa masyarakat kita gak berubah-ubah.. Wajib baca buku ini.

Diajak mikir, diajak refleksi, tapi tetap dikasih ruang untuk optimis. Baca, pahami, lalu mungkin… kamu akan lihat dunia dengan cara yang benar-benar berbeda.


Comments