Tulisan ini adalah rangkuman episode 2 podcast bersama BP Jatmiko atau yang dikenal dengan nama Wiracita Jatiswara. Seorang Ahli Sejarah Lombok dan Bali. Yang menjadi orang terdekat Alfons Van Der Kraan. Seorang sejarawan dan akademisi yang dikenal karena karya-karyanya terkait sejarah ekonomi dan kolonial di Asia Tenggara, khususnya Indonesia (Lombok) dan Kamboja.
Lombok: Conquest, Colonization and Underdevelopment, 1870–1940 adalah buku Prof Alfons dengan kajian mendalam tentang penaklukan Bali dan penjajahan Belanda di Lombok, mengeksplorasi bagaimana petani Sasak terkena dampak ganda dari kekuasaan Bali dan penguasaan kolonial Belanda.
Podcast yang tak begitu terencana ini sejatinya berawal dari hadirnya Prof Bambang ke Lombok dalam rangka acara Mengenang Prof. Alfions yang meninggl dunia beberapa hari sebelumnya. Kami, Lombok Heritage Society bersama teman-teman yang mengenal Alfons entah secara langsung maupun lewat karyanya berkumpul, mengenal dan berdoa bersama unutk Alfon. Keesokan sore harinya kami memnbuat janji bertemu kembali di Rumah Jamu Syafina dan jadilah obrolan kami yang berlangsung dari pukul 4 sore hingga hampir jam 10 malam.
Dan inilah rangkuman obrolan kami yang di rekam oleh sahabat sekaligus kameramen saya Angga :
Ada satu momen dalam sejarah kolonialisme Belanda yang
jarang dibicarakan dengan suara lantang oleh mereka: Perang Lombok 1894. Bukan
karena tak penting. Justru karena terlalu memalukan. Dalam satu pertempuran
besar, ratusan tentara Belanda gugur. Bahkan, seorang jenderalnya—Jenderal Van
Ham—tewas. Padahal sebelumnya, mereka mengira akan dengan mudah menundukkan
Lombok, sebagaimana mereka mencengkram wilayah lain di Nusantara.
Ternyata tidak.
Perlawanan di Lombok cepat, keras, dan tepat sasaran. Tidak
seperti Aceh yang dikenal dengan perlawanan panjang dan sporadis, Lombok
menampar Belanda hanya dalam satu kali pukulan telak yang membekas sampai ke
parlemen Den Haag.
Bayangkan, negeri penjajah itu harus menghadapi kemarahan
rakyatnya sendiri. Media Belanda kala itu mencibir pemerintahan kolonial yang
dianggap "memalukan", gagal menaklukkan "daerah kecil" di
Timur.
Sebagai "penebus rasa malu", pemerintah kolonial
membagikan medali kepada setiap tentara yang ikut dalam invasi itu. Medali itu
diberi nama “Lombok Cross”. Ironisnya, bukan hanya perwira, bahkan sopir dan
tukang cuci pun mendapat medali.
Tapi hari ini, medali itu bukan lagi lambang kejayaan. Komunitas
lokal seperti Lombok Heritage Society (LHS) menginterpretasikan ulang: bukan
sebagai kebanggaan Belanda, tapi sebagai pengingat... bahwa Lombok pernah
membuat penjajah itu tersungkur di hadapan dunia.
Ampenan: Pelabuhan yang Sudah Ramai Sebelum Kompeni Menyodokkan Hidung
Banyak yang keliru memahami sejarah pelabuhan di Lombok. “Ampenan dibangun oleh Belanda,” katanya.
Padahal, bahkan sebelum sepatu kulit Belanda menapak ke
tanah ini, Ampenan sudah sibuk. Lebih dari 40 kapal asing tiap harinya singgah
di sana—sejak abad ke-18! Pebisnis Australia bernama Hugh Gordon dan koleganya
dari Inggris, George King, sudah menjalin dagang dengan Lombok sejak 1838. Bahkan,
Cakranegara (dulunya dikenal sebagai Singasari) pun punya pelabuhannya sendiri
di Tanjung Karang. Maka, ketika Belanda datang, mereka hanya “numpang papan
nama”—bukan membangun dari nol.
Obrolan berlanjut dan saya mendapati cerita fakta tentang Raja Karangasem yang beragama Hindu mendukung penuh ibadah Haji umat Islam saat itu. Sebuah Warisan Toleransi yang Nyaris Hilang
Apa yang lebih indah dari kekuasaan yang digunakan untuk merawat kerukunan? Raja Hindu di Lombok pernah membiayai umat Islam untuk berangkat haji. Tak hanya itu, beliau membangun masjid Cakranegara, bahkan menyediakan rumah singgah di Jeddah, Arab Saudi, bagi jamaah Lombok. Ini bukan dongeng. Ini catatan sejarah yang masih tersimpan bukti-buktinya. Inilah sejarah yang layak kita banggakan: bahwa dulu, kekuasaan tidak memisahkan umat beragama, justru merangkulnya. Sayang, kisah ini jarang dimunculkan dalam buku-buku sejarah sekolah kita. Padahal, nilai inilah yang bisa menyelamatkan generasi masa depan dari kebencian yang diwariskan.
Kemudian tentang kerajaan Selaparang yang ternyata Lebih dari Sekadar Kerajaan Islam. Nama Selaparang selalu diasosiasikan dengan Islam. Tapi sejarah tidak sesederhana itu. Selaparang mengalami tiga fase besar:
1. Selaparang Hindu
2. Selaparang Islam
3. Selaparang Hindu (lagi)
Namun, banyak yang menolak fakta ini. Bukan karena data tidak tersedia, tapi karena kita terlalu sering melihat sejarah sebagai alat pembenaran identitas. Padahal, sejarah bukan tentang "siapa lebih suci", tapi tentang "apa yang bisa kita pelajari".
Lombok Collection: Harta yang Dilarikan ke Leiden
Informasi dari Prof Bambang, Sebagian besar naskah, lontar, dan dokumen literasi Lombok
kini ada di Belanda. Tersimpan di ruang khusus bernama Lombok Collection di
Universitas Leiden. Bayangkan, warisan intelektual kita lebih lengkap di negeri
orang daripada di kampung sendiri. Yang lebih mengejutkan? Dulu, raja-raja Bali
belajar kerohanian ke Lombok. Lombok bukan hanya tempat pertempuran dan
politik, tapi juga pusat pendidikan spiritual dan literasi Hindu.
Di Cakranegara, ditemukan jejak kampus-kampus spiritual yang menyaingi pusat-pusat pembelajaran di Nusantara. Namun hari ini, sepi. Lontarnya hilang. Kampusnya diam. Ingatan kolektifnya nyaris padam.
***
Akhirnya, Mari Belajar dengan Kepala Dingin. Sejarah bukan untuk menghakimi masa lalu. Bukan untuk menunjuk siapa yang benar dan siapa yang bersalah. Sejarah adalah ruang belajar tentang: Bagaimana bangsa ini pernah disakiti, Bagaimana kita bertahan, dan bagaimana kita seharusnya lebih bijak ke depan.
Belajar sejarah bukan hanya untuk mengenang—tapi untuk
mengerti. Agar luka tidak diulang. Agar nilai luhur tak terkubur. Dan agar kita
tak hanya menjadi pewaris tanah…...tapi juga pewaris hikmah.
Kalau kamu pernah mendengar kisah ini berbeda, mungkin ini saatnya membuka lembaran yang lebih jujur. Karena tak semua cerita bisa diwariskan lewat buku sejarah resmi. Sebagian perlu ditulis ulang—dengan hati dan nalar.
Silahkan simak obrolan kami disini :
Sangat menarik!
ReplyDelete