Adab, Ajaran, dan Jebakan Feodalisme

Dalam hidup bermasyarakat, kita pasti akrab dengan istilah adab — alias sopan santun. Adab itu penting, karena jadi cermin bagaimana kita menghargai orang lain. Tapi, kadang batas antara adab yang tulus dan kebiasaan “feodal” yang justru menumbuhkan ketimpangan bisa sangat tipis.

Tulisan ini mencoba mengajak kita berpikir lebih jernih, terutama soal bagaimana adab dan penghormatan dijalankan di kehidupan beragama dan berbudaya di Indonesia.

Saat Simbol Lebih Dianggap Penting dari Makna

Kita pernah melihat bagaimana di masa Orde Baru, misalnya, Pancasila seolah menjadi “milik pribadi” sang pemimpin. Mengkritik Soeharto waktu itu bisa dianggap sama dengan menentang ideologi negara.
Fenomena seperti ini ternyata bisa juga muncul di ranah agama. Kadang, ada pemuka agama yang merasa dirinya adalah satu-satunya wakil ajaran. Jadi ketika ada yang berbeda pendapat, langsung dianggap menghina agama.
Padahal, di sinilah letak bahayanya. Saat seseorang memakai nama agama untuk membenarkan perilaku atau pandangan yang justru bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri, maka yang terjadi bukan lagi dakwah, tapi distorsi. Kita harus berani bertanya: ini ajaran agama, atau cuma tafsir pribadi yang dikemas pakai label agama?

Memahami Ulang Makna Adab

Dalam budaya kita, menghormati orang lain sering ditunjukkan lewat gerakan atau sikap. Misalnya menunduk ketika lewat di depan orang tua — itu bentuk sopan santun dalam budaya Jawa atau Sunda. Intinya sederhana: menunjukkan hormat dan tidak berniat buruk.
Setiap budaya punya caranya; Di Asia Selatan, berjabat tangan dengan dua tangan kosong jadi tanda damai. Di Jepang, membungkuk menandakan kerendahan hati dan niat baik.
Tapi ada juga kebiasaan yang patut ditinjau ulang, seperti “jalan jongkok” di depan guru atau tokoh agama dengan alasan adab atau mencari berkah. Para ahli sejarah dan agama menyebut kebiasaan seperti ini sebenarnya berasal dari tradisi lama pra-Islam, yang sangat kental dengan sistem kasta dan feodalisme.
Islam sendiri tidak mengajarkan bentuk penghormatan yang merendahkan diri seperti itu. Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan para tabiin tak pernah melakukan hal serupa. Seorang guru sejati justru akan merasa risih kalau ada murid yang memperlakukannya seperti “orang suci” yang harus dijunjung berlebihan.

Ketika “Adab” Jadi Topeng Feodalisme

Feodalisme itu sistem yang menempatkan status sosial dan kekuasaan di atas segalanya. Akibatnya, ukuran benar dan salah sering ditentukan bukan oleh nilai, tapi oleh siapa yang bicara.
Kalau hal seperti ini dibungkus dengan kata “adab”, maka adab berubah jadi alat untuk menjaga jarak dan melanggengkan ketimpangan. Ini berbahaya, karena akhirnya yang dihormati bukan karena ilmunya, tapi karena statusnya.

Adab dalam Islam Itu Setara

Islam mengajarkan adab yang sangat manusiawi dan egaliter — semua orang punya derajat yang sama di hadapan Tuhan. Nabi Muhammad SAW mencontohkan hal ini dengan sikap yang sangat sederhana: Beliau selalu menjadi orang terakhir yang melepas genggaman tangan saat bersalaman. Saat dipanggil seseorang, beliau menoleh dengan seluruh badan — tanda perhatian penuh.
Adab sejati lahir dari kerendahan hati dan kasih sayang, bukan dari rasa lebih tinggi atau lebih mulia.

***
Dari semua perdebatan dan polemik tentang “adab” dan “penghormatan”, ada satu hal penting yang harus kita pegang: klarifikasi dan konteks. Kalau ada peristiwa atau video yang memicu reaksi publik, jelaskan dengan jujur. Karena kalau tidak, publik bisa saja menilai bahwa feodalisme masih dilestarikan, hanya saja dibungkus rapi dengan dalih adab.
Mari sama-sama kembali ke makna sejati adab — yang menumbuhkan kedamaian, menghargai sesama, dan mengingatkan bahwa di mata Tuhan, kita semua setara. Lembutkan hati, jernihkan pikiran, dan biarkan adab jadi jembatan antar manusia, bukan tembok pemisah.

Comments

  1. Yang mau ke Gunung Rinjani jangan lupa cek paket di kami https://rinjaniridge.com/ terima kasih

    ReplyDelete
  2. Yang mau ke Gunung Rinjani, yukk kepoin kami di Instagram @rinjaniridge terima kasih

    ReplyDelete

Post a Comment