"Be Kind to One Another": Ketika Jargon Marketing Gagal Menyelamatkan Reputasi Seorang CEO (The End of Ellen DeGeneres)


Siapa tak kenal acara The Ellen Show? Selama hampir dua dekade, sejak kemunculannya di tahun 2003, talk show siang hari ini menjelma menjadi mercusuar kebaikan dan energi positif di Amerika Serikat. Dengan tarian pembuka yang enerjik, permainan konyol bersama penonton, dan aksi berbagi hadiah besar—mulai dari mobil, beasiswa kuliah, hingga kejutan luar biasa untuk selebriti—Ellen DeGeneres mematri brand dirinya sebagai "wajah kebaikan". Semboyan ikoniknya, yang selalu ia bisikkan di akhir setiap episode, “Be kind to one another” (Berbaik hatilah kepada sesama), seolah menjadi mantra yang mengukuhkan citra inspiratifnya selama 19 tahun di udara.

Acara yang memenangkan 61 Daytime Emmy Awards ini adalah sebuah kerajaan. Ellen mewawancarai presiden, menjadi sahabat para superstar, dan dianugerahi Presidential Medal of Freedom oleh Barack Obama pada 2016. Ia memiliki segalanya: karir cemerlang, kekayaan ratusan juta dolar, dan status salah satu entertainer paling berpengaruh.

Namun, semua kemilau itu menyimpan rahasia kelam. Pada tahun 2020, sebuah titik balik dramatis mengguncang fondasi kerajaannya. Topeng kebaikan itu perlahan terkikis, menyingkap sosok di baliknya yang disebut oleh para karyawannya sebagai "orang paling jahat di belakang layar": toxic, intimidatif, dan manipulatif.

Dari Puncak Karier ke Jurang Reputasi

Jatuhnya Ellen tidak bisa dipahami tanpa melihat bagaimana ia mencapai puncak. Ia merintis karier sebagai komedian stand-up di era 80-an dengan gaya komedi yang bersih, cerdas, dan observatif. Momen besarnya tiba pada 1986 saat ia dipanggil langsung ke sofa oleh legenda Johnny Carson di The Tonight Show, sebuah kehormatan yang belum pernah diterima oleh komedian wanita sebelumnya.

Kariernya menanjak dengan sitkomnya sendiri, Ellen (sebelumnya This Friends of Mine). Lalu, pada tahun 1997, Ellen membuat sebuah keputusan yang mengubah hidupnya selamanya: ia secara publik mengakui dirinya sebagai lesbian. Di tahun tersebut, ketika hak-hak LGBTQ+ masih menjadi wacana tabu dan pernikahan sesama jenis ilegal di seluruh Amerika, aksi ini adalah sebuah kenekatan heroik di puncak karier.

Reaksi publik terbelah. Dukungan datang, tapi boikot juga masif. Sitkomnya dibatalkan, dan Ellen diboikot dari Hollywood selama bertahun-tahun, terpaksa berjuang mencari pekerjaan. Ia merasakan pahitnya diskriminasi dan penolakan.

Kebangkitannya terjadi pada 2003 dengan The Ellen Show. Berbekal formula baru—positif, ceria, dengan penekanan pada kebaikan dan kemurahan hati—Ellen kembali merebut hati publik. Ia menjadi ikon yang dicintai, dilihat sebagai simbol kemenangan atas kesulitan, seseorang yang menggunakan platform besarnya untuk menyebarkan hal-hal baik.

Retaknya Cermin Keaslian

Rumor tentang Ellen yang "jahat" sebenarnya telah beredar di Hollywood selama bertahun-tahun, namun brand "Be Kind"-nya begitu kokoh, membuatnya tak tersentuh. Ini berubah drastis pada 2019-2020. Kisah-kisah horor mulai muncul ke permukaan melalui thread Twitter  (sekarang X) dan kesaksian mantan kru. Mereka menceritakan lingkungan kerja yang tidak nyaman, di mana karyawan bahkan dilarang melakukan kontak mata dengan Ellen, dipecat tanpa alasan jelas, dan hidup dalam budaya intimidatif.n Bukan hanya kru, bahkan selebriti pun mulai angkat bicara. Komedian seperti Nick the Jager membagikan pengalaman buruk mereka sebagai tamu, sementara interaksi canggung Ellen dengan Dakota Johnson di depan kamera menjadi viral. Pattern yang terkuak jelas: Ellen di TV dan Ellen di dunia nyata adalah dua entitas yang berbeda.

Puncaknya, pada Juli 2020, BuzzFeed News merilis investigasi mengejutkan dari 36 mantan pegawai, mengungkap budaya kerja yang sistemik toksik di The Ellen Show, meliputi: rasisme, pelecehan seksual (oleh produser eksekutif), intimidasi, dan perlakuan tidak adil. Ini bukan lagi sekadar Ellen yang "kejam," tetapi sebuah kultur kerja yang terperosok. 

Kemarahan publik meledak. Rating anjlok drastis, dari 2,6 juta pemirsa per episode menjadi tak sampai 1 juta di musim terakhir. Upaya Ellen untuk meminta maaf dan menyalahkan produser eksekutifnya dianggap tidak tulus dan defensif, membuat publik semakin sebal. Sponsor pun mundur.

Akhirnya, pada Mei 2021, Ellen mengumumkan acara itu akan berakhir di musim ke-19. Meskipun ia berdalih acara itu "sudah tidak menantang lagi," semua orang tahu bahwa yang runtuh adalah reputasinya yang hancur lebur. Warisannya kini bukan sebagai pelopor, melainkan sebagai sosok yang munafik.

Pelajarannya : Integritas Adalah Fondasi

Kisah dramatis kejatuhan Ellen DeGeneres adalah sebuah studi kasus yang kaya akan pelajaran mendalam, terutama di era digital di mana kebenaran selalu punya cara untuk terkuak.

1. Otentisitas Adalah Mata Uang Sejati

Warren Buffett pernah berkata, "Butuh 20 tahun untuk membangun reputasi, dan hanya 5 menit untuk menghancurkan semuanya." Ellen berhasil menjaga citra selama hampir dua dekade, namun kebenaran pada akhirnya keluar. Makin besar jarak antara persona publik dan karakter asli, makin parah kejatuhannya.

Bagi para figur publik, kreator, atau pemimpin, jangan pernah mencoba menjadi seseorang yang bukan dirimu. Publik jauh lebih menghargai kejujuran dengan segala kekurangan yang ada, daripada sebuah kesempurnaan yang palsu. Bangunlah brand yang mencerminkan siapa dirimu sebenarnya.

2. Kekuasaan Bukan Lisensi untuk Berbuat Kejam

Ellen pernah merasakan pahitnya diskriminasi saat diboikot Hollywood pada 1997. Ironisnya, setelah meraih kekuasaan, ia justru menciptakan kultur di mana orang harus berjalan di atas cangkang telur, takut dan terintimidasi. Kekuasaan yang dimiliki tidak pernah memberikan hak untuk memperlakukan orang lain semena-mena. Karakter sejati seseorang terungkap dari cara ia memperlakukan orang-orang yang berada "di bawah" kekuasaannya: asisten, karyawan, atau pelayan restoran. Kerendahan hati dan empati harus tetap menjadi jangkar, seberapa tinggi pun posisi kita.

3. Tanggung Jawab Penuh Atas Budaya yang Diciptakan

Saat skandal meledak, Ellen mencoba melempar kesalahan pada produser eksekutif. Padahal, acara itu bernama The Ellen Show, wajahnya ada di setiap episode, dan dialah yang menerima penghargaan serta puluhan juta dolar.

Sebagai pemimpin, kita bertanggung jawab penuh atas kultur yang terbentuk. Anda tidak bisa mengklaim semua kredit saat berjalan baik, dan kemudian lepas tangan saat masalah muncul. Reputasi sejati dibangun dari testimoni orang-orang yang bekerja dengan kita, bukan dari iklan mahal atau strategi PR yang canggih.

4. Internet Tidak Pernah Lupa

Butuh 20 tahun untuk membangun citra America's Sweetheart, dan hanya satu artikel investigasi untuk menghancurkan segalanya. Dalam waktu singkat, efek domino kebenaran bergerak sangat cepat di era digital, memberanikan orang-orang yang diam bertahun-tahun untuk angkat suara.

Mari kita ingat bersama bahwa Integritas itu penting. Bukan karena kita takut ketahuan, tetapi karena fondasi yang dibangun di atas kebohongan hanya soal waktu hingga semuanya runtuh secara dramatis. Kebaikan bukanlah strategi marketing atau PR move; itu adalah cara hidup. Saat topeng itu terlepas, kejatuhan akan terasa sangat menyakitkan.

Comments