Sekarang? Guru sudah jungkir balik pakai media ajar, teori belajar, strategi aktif, ice breaking, sampai kuis interaktif, tapi tetap saja banyak yang geleng-geleng waktu ditanya "faham?"
Apa yang sebenarnya berubah?
1. Dunia Anak Sudah Berbeda
Anak-anak dulu tumbuh dalam dunia yang tenang. Hiburan hanya dari radio, televisi hitam putih, atau permainan di halaman rumah. Fokus mereka panjang, pikirannya tidak terpecah. Sekarang? Dunia anak sudah bising. Ada TikTok, YouTube, game, notifikasi, dan seribu hal yang memanggil perhatiannya setiap menit. Otak mereka terbiasa dengan informasi cepat, gambar bergerak, dan hiburan instan.
Jadi, ketika guru berbicara selama lima menit, pikirannya sudah melayang ke tempat lain.
2. Pola Asuh dan Nilai yang Bergeser
Dulu, guru itu tokoh yang sangat dihormati. Kalau guru marah, anak bisa menangis karena merasa bersalah. Sekarang, sebagian anak melihat guru seperti “teman sebaya”. Hubungan yang akrab memang bagus, tapi kadang membuat batas hormat menjadi kabur. Lebih rumit lagi, kalau anak tidak paham, sebagian orang tua langsung menyalahkan guru, bukan mencari solusi bersama. Padahal dulu, orang tua dan guru berdiri di sisi yang sama—mendidik anak dengan suara yang satu.
3. Anak Tahu Banyak, Tapi Tak Dalam
Internet membuat anak-anak sekarang serba tahu. Tapi pengetahuan yang mereka punya sering hanya di permukaan.
Mereka tahu “apa”, tapi tidak selalu tahu “mengapa”.
Mereka cepat mencari jawaban, tapi jarang melatih proses berpikirnya. Akibatnya, guru harus mengajar dua hal sekaligus: materi pelajaran, dan cara berpikir.
4. Guru Dulu Sederhana, Tapi Mengena
Guru dulu mungkin tidak memakai istilah-istilah keren seperti student centered learning atau project based learning, tapi mereka punya dua hal penting: ketulusan dan wibawa. Kelas terasa hangat karena hubungan antara guru dan murid dekat. Guru bukan sekadar penyampai materi, tapi juga sosok yang menanamkan nilai, membentuk karakter, dan membimbing hati.
Sekarang, guru sering terjebak pada tumpukan administrasi, laporan, asesmen, dan format yang harus diisi. Waktu untuk “mendidik” kadang tergeser oleh urusan “mengajar". Sekarang malah ditambah harus mengurusi embege duh.
5. Maka Mungkin, Bukan Metodenya yang Salah
Anak zaman sekarang bukan bodoh, dan guru zaman dulu bukan yang paling hebat. Hanya saja, dunia mereka berbeda. Dulu anak-anak belajar dari kehidupan nyata. Sekarang anak belajar dari layar. Dan tugas kita sebagai guru bukan memaksa mereka kembali ke masa lalu, tapi membawa nilai-nilai baik dari masa lalu ke dunia mereka yang baru.
Lalu, Solusinya Apa?
Kalau menurut saya, kita tidak bisa lagi hanya “mengajar”, tapi harus menghadirkan makna. Daripada sibuk memikirkan media apa yang paling keren, mungkin lebih penting untuk bertanya:
“Apakah anak merasa dekat dengan saya?”
“Apakah ia paham kenapa pelajaran ini penting?”
Karena pada akhirnya, anak akan belajar bukan dari teknologi, tapi dari hubungan. Bukan dari banyaknya teori, tapi dari rasa percaya dan keteladanan. Dan mungkin, itulah rahasia guru-guru dulu — sederhana dalam cara, tapi dalam dalam makna.
Comments
Post a Comment