Menegakkan Disiplin di Tengah Tantangan Zaman: Refleksi Kasus SMAN 1 Cimarga

Kasus mogok sekolah di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, sempat bikin heboh. Katanya, ada siswa yang ditampar kepala sekolah karena ketahuan merokok, dan dari situlah semuanya jadi ramai. Ada yang bilang kepala sekolahnya kelewatan, ada juga yang bilang siswanya yang sudah kebangetan. Tapi di balik hebohnya berita ini, ada hal penting yang perlu kita pikirkan bareng-bareng: bagaimana sebenarnya posisi guru dan makna “disiplin” di sekolah zaman sekarang?

Kalau kita lihat dari sisi kepala sekolah, niatnya jelas: ingin menegakkan aturan. Merokok di lingkungan sekolah itu pelanggaran berat. Sekolah punya tanggung jawab moral untuk menciptakan suasana belajar yang sehat, bersih, dan jauh dari kebiasaan buruk.

Jadi, bisa jadi tindakan kepala sekolah itu muncul dari rasa tanggung jawab untuk menjaga marwah sekolah—meskipun caranya mungkin dianggap keras oleh sebagian orang. Karena pada dasarnya, ketegasan di sekolah punya tujuan:
✔️ Bikin efek jera biar siswa lain gak ikut-ikutan.
✔️ Nunjukin kalau sekolah serius soal aturan.
✔️ Melindungi siswa dari kebiasaan yang bisa merusak masa depan mereka.

Coba ingat zaman dulu. Kalau guru marah atau menegur keras, orang tua justru mendukung.
Ya wajar, anak saya salah,” begitu kira-kira respon mereka.

Guru dianggap orang tua kedua. Ketegasan guru adalah bentuk kasih sayang, bukan kekerasan. Orang tua percaya sepenuhnya kalau niat guru pasti untuk kebaikan anak mereka.
Dulu itu, guru punya wibawa tinggi karena didukung sepenuhnya oleh orang tua dan masyarakat. Tapi sekarang? Sedikit saja guru bersikap tegas, bisa viral, bisa dilaporkan ke polisi, bahkan bisa kehilangan jabatan.

Guru zaman sekarang sering terjebak di posisi serba salah. Kalau diam saja, dibilang gak tegas. Tapi kalau menegur keras, dibilang kasar.

Mereka harus mendidik karakter, tapi juga harus berhati-hati karena semua bisa direkam, diviralkan, dan dijadikan kasus hukum. Akibatnya, banyak guru yang akhirnya memilih jalan aman—tidak menegur, tidak menindak, biar gak ribet. Padahal, tanpa ketegasan, bagaimana anak-anak bisa belajar disiplin dan tanggung jawab? Kalau wibawa guru terus menurun, jangan heran kalau nanti sekolah kehilangan fungsi utamanya: membentuk karakter yang kuat dan jujur.


Kasus viral di Cimarga ini seharusnya bukan cuma bahan gosip atau debat di media sosial, tapi jadi pengingat buat kita semua: pendidikan itu kerja bareng antara guru, orang tua, dan masyarakat.
Kalau kita ingin anak-anak tumbuh jadi pribadi yang tangguh dan berkarakter, guru butuh dukungan, bukan tuduhan.

Jadii ayo sama-sama kembalikan wibawa guru.
Beri ruang bagi mereka untuk menegakkan disiplin tanpa rasa takut dikriminalisasi. Kalau ada masalah, duduk bareng, bicarakan baik-baik. Jangan langsung lapor polisi.

Karena sesungguhnya, teguran dari guru—meski terasa keras hari ini—bisa jadi bekal berharga bagi masa depan anak kita nanti. 

Gimana? Setuju? Kalau setuju bagikan tulisan ini. 

Comments