Menemukan 'Nu'ass': Seni Berdamai dengan Diri di Tengah Hiruk-Pikuk Dunia.


Menemukan "Nu'ass": Seni Berdamai dengan Diri di Tengah Hiruk-Pikuk Dunia
(Refleksi Tadabbur Ali 'Imran 153-155)

Pernahkah kita merasa begitu lelah mengejar pengakuan? Lelah berlari mendaki "bukit" ambisi, takut tertinggal, takut dicibir, hingga lupa siapa diri kita sebenarnya?

Sepulang dari sebuah kajian yang hangat malam ini (yang membahas tentang Ketaatan, Godaan Dunia, dan Pertolongan Allah. Refleksi Perang Uhud dan Surah Ali Imran) saya merenungi kembali kisah monumental dalam Surat Ali 'Imran ayat 153 hingga 155. Kisah tentang Perang Uhud yang bukan sekadar sejarah pedang dan darah, melainkan sebuah metafora psikologis yang luar biasa tentang keguncangan jiwa dan bagaimana ketenangan sejati itu diraih.

Jebakan "Ghanimah" dan Hilangnya Jati Diri

Ayat 153 mengingatkan kita pada momen ketika pasukan tercerai-berai, berlari menjauh tanpa menoleh, padahal Rasulullah memanggil dari belakang. Mengapa mereka lari? Mengapa sebagian dari mereka sebelumnya meninggalkan pos di bukit? Karena tergiur ghanimah (harta rampasan perang).

Dalam konteks hari ini, ghanimah kita adalah validasi manusia. Kita seringkali meninggalkan "pos" jati diri kita—nilai-nilai yang kita yakini—hanya demi memungut pujian, likes, atau agar tidak dianggap aneh oleh lingkungan. Ketika kita menggantungkan harga diri pada hal-hal di luar diri kita (harta, jabatan, opini orang lain), kita menjadi rapuh. Saat "harta" itu hilang, atau saat "pujian" berubah menjadi caci maki (bullying), mental kita runtuh. Kita menjadi "prajurit yang panik", berlari tanpa arah, dihantui kesedihan demi kesedihan (ghamman bighamm).

Self-Acceptance: Berhenti "Mencemaskan Diri Sendiri"

Namun, perhatikan kontras yang indah di ayat 154. Setelah kekacauan itu, Allah menurunkan nu'ass (kantuk/rasa aman) kepada segolongan orang. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang berserah (surrender).

Mereka bisa tertidur tenang di tengah medan perang yang mencekam. Bayangkan level kedamaian itu! Itu adalah ketenangan dari jiwa yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Mereka sudah menerima bahwa hidup dan mati, menang dan kalah, adalah urusan Allah. Tugas mereka hanya taat.

Sebaliknya, ada golongan lain yang “sedang dicemaskan oleh diri mereka sendiri” (wa thaa'ifatun qad ahammathum anfusuhum). Mereka gelisah, berprasangka buruk, dan sibuk bertanya "Apakah kita punya hak campur tangan dalam urusan ini?".

Inilah inti dari Self-Acceptance. Ketidaktenangan muncul ketika kita terobsesi dengan "Aku".
  • "Bagaimana kalau aku dihina?"
  • "Bagaimana kalau aku gagal?"
  • "Apa kata orang tentang aku?"
Orang yang belum berdamai dengan dirinya akan selalu merasa dunia ini ancaman. Setiap bully-an adalah serangan mematikan. Setiap cibiran adalah kiamat. Karena ego-nya terlalu besar untuk dilukai.

The Power of Surrender: Kemenangan yang Sesungguhnya

Refleksi dari ayat ini mengajarkan kita bahwa kedamaian (peace) tidak datang dari situasi luar yang sempurna. Kedamaian datang dari Total Surrender (Tawakkal). Seperti prajurit yang taat, ketika kita menyerahkan "hasil akhir" kepada Allah, beban di pundak kita runtuh. Kita menjadi ringan.

Jika ada yang mem-bully, kita tidak goyah, karena kita tahu nilai diri kita ditentukan oleh Allah, bukan oleh lidah manusia. Jika kita melakukan kesalahan, kita tidak hancur dalam penyesalan yang toksik, karena ayat 155 mengingatkan: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan mereka.”
Jika Allah saja memaafkan ketergelinciran kita (akibat godaan dunia/setan), lantas mengapa kita begitu kejam menghukum diri sendiri?

Pulang ke Diri yang Sejati

Berdamai dengan diri sendiri berarti menerima bahwa kita adalah hamba yang lemah, namun memiliki Tuhan yang Maha Kuat. Ketenangan sejati adalah saat kita berhenti menoleh ke kanan-kiri mencari validasi (seperti pasukan yang lari), dan kembali menoleh ke arah panggilan Rasul (tuntunan Allah).
Di sanalah kita akan menemukan benteng yang kokoh. Di dalam benteng itu, suara-suara sumbang di luar sana tak lagi terdengar menakutkan. Kita menjadi tenang, damai, dan berani. Bukan karena kita hebat, tapi karena kita bersama Yang Maha Hebat.

Hasbunallah wa ni'mal wakil. Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.

Comments

Post a Comment