Tragikomedi Bara Aruna | Sebuah Cerpen


Bagian 1: Egosentris Muda

Hujan di luar jendela kafe ini mengingatkanku pada dua puluh tahun yang lalu. Bukan jenis hujan romantis yang sering ditulis dalam novel, tapi hujan badai yang bising, sama seperti hubungan kami saat itu.

Namaku Aruna, dan dia adalah Bara. Nama yang sangat cocok untuknya. Dia berapi-api, keras, dan membakar. Kami bertemu di usia awal 20-an, usia di mana darah kami terlalu panas dan kepala kami terlalu besar. Kami saling mencintai dengan cara yang gila—obsesif, posesif, dan penuh ledakan. Dua puluh tahun yang lalu, cinta kami bukan seperti angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Cinta kami adalah badai. Kami adalah Bara dan Aruna, dua nama yang jika disatukan terdengar seperti bencana alam. Dan memang begitulah adanya. 

Aku ingat satu malam di beranda rumah kosku. Kami bertengkar hanya karena hal sepele—mungkin tentang siapa yang lupa membalas pesan atau siapa yang melirik orang lain.

"Kamu itu keras kepala, Aruna! Nggak pernah mau ngalah!" teriak Bara saat itu, matanya menyala.
"Dan kamu egois! Kamu maunya didengar terus tanpa mau mendengar!" balasku tak kalah sengit.

Aku juga masih ingat malam minggu di sebuah warung tenda pinggir jalan. Seharusnya romantis, tapi udara di antara kami begitu panas hingga bisa merebus air.

​"Kamu tadi ngelihatin dia, kan?" tuduh Bara, matanya menyala tajam sambil mengaduk es tehnya dengan kasar. 
Aku mendengus, membanting sendok ke piring. 
"Mulai lagi. Kamu itu sakit jiwa ya, Bar? Itu teman SMA aku!"
"Teman tapi tatapannya kayak mau nelan kamu!"
"Itu pikiran kamu aja yang kotor! Cemburuan nggak jelas!"

​Kami berteriak. Tidak peduli pada orang-orang di sekitar yang mulai menoleh risih. Saat itu, kami merasa dunia hanya milik kami berdua—termasuk panggung pertengkarannya.

​"Kalau kamu nggak suka aku punya teman, kita putus aja!" ancamku. Itu adalah senjata andalanku. Kalimat sakti yang selalu kulempar karena aku tahu dia takut kehilanganku. Bara terdiam. Rahangnya mengeras. Harga dirinya sebagai laki-laki muda tersentil.

"Oke. Kalau itu mau kamu. Kita putus!" balasnya, lalu berdiri dan meninggalkan uang di meja. "Pulang sendiri. Biar kamu puas."

​Dia pergi dengan motornya, menderu kencang membelah malam. Aku tertinggal di sana, duduk sendiri dengan dada sesak.

Balik, bodoh! teriak hatiku. Tapi kakiku terpaku. Ngapain aku minta dia balik? Dia yang salah. Dia yang harus minta maaf.

Kami adalah dua batu karang yang saling beradu. Percikan apinya adalah cinta, tapi benturannya adalah luka. Putus-nyambung adalah hobi kami. Hari ini kami bersumpah tidak akan saling bicara lagi, besoknya kami sudah berpelukan erat seolah dunia akan kiamat jika kami berpisah. Kami meremehkan waktu. Kami pikir, “Ah, toh nanti kita akan balikan lagi. Dia nggak akan ke mana-mana.”

Ego masa muda membuat kami buta. Kami menimbun gengsi setinggi langit. Siapa yang menghubungi duluan, dia yang kalah. Itu prinsip bodoh yang kami pegang teguh. Hingga akhirnya, lelah itu datang bukan dalam bentuk teriakan, tapi diam. Dan dalam diam itu, aku membuat keputusan impulsif. Aku menerima lamaran laki-laki lain. Laki-laki yang menawarkan ketenangan, bukan ledakan seperti Bara.
Saat undangan pernikahanku sampai di tangan Bara, dia tidak marah. Dia tidak berteriak. Dia hanya menghilang. Seperti asap yang tertiup angin, dia lenyap dari radarku. Aku menangis di malam sebelum pernikahanku, bukan karena bahagia, tapi karena sadar aku telah membiarkan separuh jiwaku pergi karena gengsi.

Bagian 2: Persimpangan Tiga Tahun

Tiga tahun berlalu. Pernikahanku berjalan datar. Aman, tapi hampa. Tidak ada ledakan tawa, tidak ada debat panas yang berujung rindu. Lalu semesta, dengan selera humornya yang aneh, mempertemukan kami lagi. Di sebuah seminar di Jakarta. Jantungku rasanya mau copot saat melihat punggung tegap itu. Dia menoleh, dan tatapan itu masih sama. Tajam, namun ada kerinduan yang tertahan di sana. Kami duduk berhadapan di lobi hotel. Canggung.

"Apa kabar?" tanyanya. Suaranya lebih berat, lebih dewasa.
"Baik," jawabku bohong. "Kamu?"
"Seperti yang kamu lihat. Masih hidup," jawabnya singkat.

Di momen itu, aku melihat kilatan di matanya. Rasa itu masih ada. Masih sangat kuat. Tapi di jari manisku melingkar cincin pernikahan, dan di wajahnya masih terpahat sisa-sisa ego yang belum sepenuhnya luntur.

"Kamu bahagia?" tanyanya tiba-tiba. Pertanyaan jebakan.

Egoku, yang ternyata belum mati walau sudah ditempa pernikahan, mengambil alih. Aku tidak mau terlihat menyedihkan di depannya. Aku tidak mau dia tahu bahwa aku menyesal.

"Sangat bahagia," jawabku dengan senyum palsu terbaikku. "Suamiku baik."

Bara mengangguk, rahangnya mengeras. 
"Baguslah. Itu yang penting."

Kami berpisah lagi hari itu. Tidak ada pengakuan dosa, tidak ada pelukan perpisahan. Hanya dua orang bodoh yang masih memelihara gengsi, padahal hati kami berteriak ingin pulang ke satu sama lain. Seandainya saat itu aku jujur. Seandainya saat itu dia menurunkan temboknya. Mungkin ceritanya akan lain.

Bagian 3: Karma yang Berbalik

Pernikahanku megah. Semua orang bilang aku beruntung. Suamiku baik, mapan, sabar. Kebalikan total dari Bara. Tidak ada teriakan, tidak ada cemburu buta, tidak ada drama banting pintu. ​Tapi di tahun ketiga, aku sadar ada yang mati di dalam diriku. ​Setiap malam, aku berbaring di samping suamiku, menatap langit-langit kamar yang sunyi. Suamiku tidur dengan tenang, nafasnya teratur. Sementara di kepalaku, badai itu masih bergemuruh.

​Aku merindukan pertengkaran itu. Aku merindukan gairah yang meledak-ledak. Rumah tanggaku tenang, saking tenangnya seperti air genangan yang tidak mengalir. Hampa.

"Mas, makanannya enak?" tanyaku suatu hari.
"Enak, Dek" jawab suamiku datar, tanpa menoleh dari handphone-nya.

Hanya itu. Selalu seperti itu percakapan kami sopan, terukur, dan dingin. Tidak ada getaran yang menantang. Tidak tindakan darinya yang membuatku merasa diperhatikan, dilindungi atau sekedar merasa dilihat sebagai perempuan yang meski kuat juga butuh diperhatikan dengan candaan, dengan rayuan romantis atau hal lainnya semacam itu. Aku merasa tidak bisa Menjadi diri sendiri ketika bersamanya. 

Akhirnya setahun lebih setelah pertemuan dengan Bara, rumah tanggaku runtuh. Masalah demi masalah akhirnya menumpuk, ia terlampau cuek, ketidakcocokan yang tak bisa lagi ditoleransi, dan akhirnya aku memilih untuk sendiri. Aku bercerai.

Hal pertama yang terlintas di benakku saat palu hakim diketuk adalah Bara. 
Aku bebas, pikirku. Sekarang tidak ada lagi halangan. Aku sudah belajar. Aku tidak akan membiarkan gengsi menghalangiku lagi. Aku mencarinya. Aku bertanya pada teman-teman lamanya, menelusuri jejak digitalnya. Dan ketika aku akhirnya menemukannya, duniaku runtuh untuk kedua kalinya.

"Bara akan menikah bulan depan, Aruna," kata salah satu teman kami.

Duh, Gusti. Sakitnya bukan main. Rasanya lebih sakit daripada saat aku bercerai. Ini adalah rasa sakit dari penyesalan yang terlambat. Karma itu nyata, dan dia sedang menampar wajahku bolak-balik. Dulu, dia yang patah hati melihatku menikah. Sekarang, aku yang harus menelan empedu melihat dia bersanding dengan wanita lain. Aku melihat foto pre-wedding mereka di media sosial. Wanita itu cantik, terlihat lembut. Bara tersenyum di foto itu, senyum yang dulu hanya miliku.

Aku mundur. Aku tahu diri. Aku tidak berhak mengacaukan kebahagiaannya hanya karena aku baru sadar akan perasaanku. Aku menelan rasa sakit itu sendirian, menjauh sejauh-jauhnya. Aku mengubur harapanku dalam-dalam, meyakinkan diri bahwa kisah kami memang sudah selesai di bab satu.

Bagian 4: Panggilan di Tengah Malam

Waktu bergulir lagi. Setahun berlalu sejak pernikahan Bara. Aku sudah mulai berdamai dengan kesendirianku. Aku pikir aku sudah lupa. Hingga suatu malam, ponselku bergetar. Nama itu muncul di layar. Nama yang sudah lama tidak kusebut, tapi selalu ada dalam doa diam-diamku.

"Halo?" suaraku bergetar. Hening sejenak. Hanya ada suara nafas yang berat di seberang sana.
"Aruna... ini aku."

Itu Bara. Tapi suaranya berbeda. Rapuh. Hilang sudah nada angkuh dan egois yang dulu menjadi ciri khasnya.

"Aruna, kita bisa ketemu" suaranya tercekat "aku divorce" bisiknya.

Aku shock, ada rasa sedih mengetahui ia tidak bahagia sampai akhirnya berpisah. Namun jantungku berdebar. Ada harapan kecil yang bodoh tumbuh lagi. Kami sama-sama sendiri sekarang. Apakah ini waktunya? Apakah Tuhan akhirnya memberi kami lampu hijau?

"iya bar, bisa" jawabku tanpa gengsi lagi

***

Gila! Akhirnya Dua puluh tahun kemudian. Semesta akhirnya mempertemukan kami kembali di titik nadir. ​Aku sudah sendiri. Bara sudah sendiri. Tapi kami tidak lagi muda, dan kami tidak lagi utuh.

​Malam itu, di bangku taman kota yang temaram, aku melihatnya berjalan mendekat. Langkahnya tidak lagi tegap sombong seperti dulu. Langkahnya pelan. Wajahnya lebih tirus dari sejak terakhir kami bertemu. Tapi matanya... Tuhan, matanya masih Bara yang sama. Mata yang dulu menatapku dengan api cemburu, kini menatapku dengan sendu. 

Tangan Bara yang kurus namun masih terasa kekar itu menggenggam tanganku. Erat sekali. Seolah ia takut aku akan menguap menjadi udara jika ia melepaskannya barang sedetik. Jemarinya menelusuri sela-sela jariku, sebuah gestur lama yang dulu selalu ia lakukan saat kami menonton film atau sekadar duduk diam. Rasanya seperti pulang ke rumah yang sudah lama ditinggalkan.

​"Aku kangen kamu, Bar," bisikku, air mata mulai mengalir lagi. Kali ini bukan air mata kemarahan, tapi air mata kelegaan bercampur kepedihan.

​Bara tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Aku membenamkan wajahku di dadanya, menghirup aroma tubuhnya yang khas—aroma musk bercampur tembakau, meski kini ada sedikit bau obat-obatan yang samar. Pelukan itu hangat, menenangkan, dan terasa sangat benar. Seharusnya kami seperti ini sejak sepuluh tahun lalu. Seharusnya ego tidak pernah mengambil tempat di antara pelukan ini.

​Dalam dekapan itu, rasa rindu yang tertahan selama dua dekade meledak. Secara naluriah, wajahku mendongak, mencari wajahnya. Tatapan kami bertemu dalam jarak yang sangat dekat. Deru nafasnya menyapu wajahku. Ada dorongan purba yang begitu kuat untuk menyatukan bibir, untuk meleburkan rindu ini sampai ke dasarnya, untuk menyatukan diri kami sepenuhnya seperti layaknya sepasang kekasih yang baru bertemu kembali.

​Aku memejamkan mata, mendekatkan wajahku. ​Namun, sebuah tangan menahan bibirku dengan lembut. ​Aku membuka mata. Bara menatapku dengan sorot mata yang hancur. Ia menggeleng pelan. Ibu jarinya mengusap pipiku, tapi tubuhnya menahan diri.

​"Nggak bisa, Aruna," suaranya parau, terdengar seperti kaca yang retak. "Cukup sampai di sini. Kita cuma bisa sampai di pelukan ini."

Aku sempat kebingungan. Hingga akhirnya dia memberitahuku vonis dokter. Sebuah penyakit berat. Penyakit yang menular lewat kontak fisik yang intim. Penyakit yang menjadi stigma. Dia mendapatkannya dari masa lalunya yang kelam dengan pasangannya. ​Aku terdiam. Air mataku menetes tanpa suara.

​"Aku sakit, Aruna. Sakit yang nggak main-main," katanya lirih. "Aku kotor."
"Jangan ngomong gitu," potongku cepat. "Kamu tetap Bara-ku."
"Nggak. Kamu nggak ngerti. Aku nggak bisa dekat sama siapa-siapa lagi. Terutama kamu. Aku nggak akan membiarkan kamu tertular. Aku nggak akan merusak hidupmu lagi."

​Aku tertegun, lalu sadar. Ya, Penyakit itu. Virus yang kini berenang di dalam darahnya menjadi tembok raksasa yang tak terlihat. Kami bisa saling menggenggam, kami bisa saling mendekap untuk mengusir dingin, tapi kami tidak bisa saling mencicipi. Kami tidak bisa membiarkan nafas dan cairan kami bersatu. Ciuman—gerbang menuju penyatuan yang lebih dalam—adalah zona terlarang. 

​Itu adalah hukuman paling kejam. Surga itu ada di depan mata, dalam jangkauan tangan, bisa dipeluk, tapi tak bisa dimasuki.

​"Maafkan aku Aruna..." bisiknya, menjatuhkan keningnya ke keningku. "Aku nggak mau ambil risiko sekecil apa pun buat kamu. Biar aku saja yang sakit, kamu jangan."

​Saling mencintai, namun tak bisa saling bercinta. Saling menyayangi, namun keadaan memberi batas suci yang tak boleh dilanggar. Kami seperti dua orang yang kehausan di tengah laut; dikelilingi air, tapi tak bisa meminumnya setetes pun.

​Aku kembali memeluknya erat, lebih erat dari sebelumnya, seolah ingin meremukkan virus itu dengan kekuatan cintaku. Tapi aku tahu itu mustahil. 

Bagian 5: Menertawakan Nasib

Dan disinilah kami sekarang. Kami duduk di bangku taman kota. Kami berdua namun sendiri. Tidak ada suami, tidak ada istri. Hati kami masih saling terpaut, kuat seperti 20 tahun yang lalu. Tapi keadaan... ah, keadaan benar-benar bajingan tengik. 
Dulu, kami punya kesehatan, punya waktu, punya kesempatan, tapi kami dipisahkan oleh ego dan gengsi. Sekarang, ego kami sudah runtuh, gengsi kami sudah mati, cinta kami masih menyala, tapi kami dipisahkan oleh vonis medis.

Aku menatap Bara. Dia terlihat lebih kurus, wajahnya pucat. Tapi matanya masih menatapku dengan cinta yang sama. Cinta yang putus asa.

"Ingat nggak waktu kita berantem soal kamu nggak mau jemput aku karena hujan?" tanyaku memecah keheningan.

Bara terkekeh pelan. "Ingat. Bodoh banget ya aku dulu. Padahal cuma air."
"Aku juga bodoh. Ingat waktu aku banting HP cuma karena kamu telat balas SMS lima menit?"
"Hahaha, iya. HP Nokia itu kan? Tahan banting, kayak hubungan kita."

Kami mulai tertawa. Awalnya pelan, lalu makin keras. Kami tertawa sampai perut kami sakit. Kami tertawa sampai air mata keluar dari sudut mata kami.
Orang-orang yang lewat mungkin mengira kami gila. Dua orang paruh baya, tertawa terbahak-bahak di tengah angin sore yang dingin. Kami tidak tertawa karena ada yang lucu. Kami menertawakan betapa ironisnya hidup ini. Kami menertawakan sekaligus menangisi kebodohan kami di masa muda. Kami menertawakan waktu yang mempermainkan kami dengan kejam.

"Kenapa ya, Bar?" tanyaku di sela sisa tawa. "Kenapa dulu kita keras kepala banget? Padahal kalau dulu kita ngalah dikit aja, mungkin cerita kita nggak gini."

Bara menghapus air matanya.
"Mungkin karena kita merasa punya segalanya waktu itu, Run. Kita sombong sama waktu. Kita pikir kesempatan bakal datang terus."

Dia menatapku lekat. 
"Maafin aku, Aruna."
"Maafin aku juga, Bara."
"Lucu aja, Run. Dulu kita sehat, kita kuat, kita punya waktu, kita punya kesempatan... tapi kita pilih berantem. Kita pilih gengsi."

Dia tertawa lagi, kali ini lebih lepas.
"Sekarang? Ego kita udah mati, gengsi udah ilang, cinta kita lagi gede-gedenya... eh, giliran 'alat'-nya yang rusak. Giliran darahnya yang ngelarang. Bangsat banget kan nasib kita?"

​Aku tertegun sejenak. Meresapi ironi yang dia katakan. Benar. Ini konyol. Ini sangat konyol sampai-sampai rasanya tidak masuk akal. Dan perlahan, tawa itu kembali menular padaku.

"Iya ya..." aku mulai terkikik di sela tangis.

​Kami kembali tertawa bersama dengan nikmat di bangku taman itu. Benar, ini tawa ternikmat sekaligus tergetirku.  Dua orang paruh baya, berpelukan erat, dengan mata bengkak habis menangis, tapi tertawa terbahak-bahak. Suara tawa kami terdengar sumbang, perih, dan menyayat hati. 

​Kami menertawakan kebodohan masa muda kami. Kami menertawakan waktu yang penipu.
Kami menertawakan takdir yang seolah sedang menonton kami sambil makan popcorn, menikmati drama komedi tragis ini.

​"Janji ya, Bar," kataku sambil menggenggam tangannya erat-erat, menautkan jari-jari kami seolah tak ingin lepas lagi. 
"Di sisa waktu ini, kita ketawa aja terus. Biar nasib bingung kenapa kita nggak sedih."
"Janji," jawab Bara, menempelkan keningnya di keningku. 
"Kita ketawain aja semuanya sampai selesai."

​Dan malam itu, di bawah lampu jalan yang redup, kami merayakan cinta kami yang cacat dengan satu-satunya cara yang tersisa: menertawakan kepedihan, sambil berpegangan tangan erat-erat, menunggu waktu yang entah kapan akan habis.

Kami terus tertawa. Tawa yang getir, tawa yang penuh luka, tapi juga tawa penerimaan. Bahwa mungkin, di kehidupan ini, cinta kami memang tidak ditakdirkan untuk memiliki rumah yang utuh, melainkan hanya untuk menjadi pengingat; bahwa waktu adalah barang mewah, dan ego adalah pencuri yang paling jahat.

Biarlah kami menertawakan nasib ini. Karena jika kami berhenti tertawa, kami pasti akan menangis selamanya. 

End.

Comments

Post a Comment